KOMPAS.com - Pada Senin (24/2/2025) malam, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018–2023.
Beberapa jam sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung, Riva turut menghadiri dan menerima pemberian penghargaan di Gedung Sasono Langen Budoyo, TMII di Jakarta, Senin malam.
Dalam acara tersebut, Pertamina Patra Niaga memperoleh 12 medali emas Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) Tahun 2024 dan 61 PROPER Hijau dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
Baca juga: Rincian Sementara Kerugian Negara Akibat Korupsi Minyak Pertamina
PROPER merupakan pemberian apresiasi bagi perusahaan yang berkomitmen terhadap praktik bisnis berkelanjutan dan tanggung jawab lingkungan.
Penghargaan tersebut diberikan langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq kepada Riva dan jajaran dari masing-masing unit lokasi peserta PROPER Tahun 2024.
Dikutip dari siaran pers Pertamina Patra Niaga, Riva menuturkan, pencapaian tersebut membuktikan bahwa perusahaan tidak hanya fokus kepada kepatuhan dalam menjalankan bisnis.
Riva menuturkan, perusahaan juga fokus dalam aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola atau environmental, social, and governance (ESG).
"Ini sejalan dengan pembaruan visi Pertamina Patra Niaga, yaitu menjadi perusahaan yang memberikan solusi energi untuk kemandirian dan keberlanjutan," ujar Riva dikutip dari siaran pers.
Baca juga: Beda Kejagung dan Pertamina soal Dugaan Pertalite Dioplos Jadi Pertamax
Dia menambahkan, penghargaan tersebut menjai bukti bahwa pihaknya terus berupaya meningkatkan kontribusi di bidang ESG.
"Pencapaian ini menunjukkan bahwa fokus kami tidak hanya pada keberlangsungan operasional bisnis perusahaan, tetapi juga mendukung pemerintah dan upaya Indonesia dalam meningkatkan komitmen terhadap ESG," ucapnya.
Riva bertutur, penghargaan tersebut juga merupakan hasil dari sinergi yang kuat antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat dalam mewujudkan bisnis yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
"Kami akan terus berinovasi dan meningkatkan standar dalam pengelolaan lingkungan serta program pemberdayaan masyarakat, sehingga dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi lingkungan dan generasi mendatang," tutupnya.
Beberapa jam setelah menghadiri pengharaan tersebut, Kejaksaan Agung mengumumkan Riva menjadi salah satu tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018–2023.
Baca juga: Beda Kejagung dan Pertamina soal Dugaan Pertalite Dioplos Jadi Pertamax
Selain Riva, ada beberapa nama yang juga ditetapkan sebagai tersangka pada Senin. Mereka adalah Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi (YF); SDS selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; dan AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
Lalu ada MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Pada Rabu (26/2/2025), Kejaksaan Agung menetapkan dua tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018–2023.
Dua tersangka itu adalah Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya dan VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga Edward Corner.
Baca juga: Kejagung Ungkap Lokasi Pengoplosan Pertamax dalam Kasus Korupsi Minyak Pertamina
Sebelumnya, Kejaksaan Agung mengungkap bahwa kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun hanya dalam satu tahun, yakni 2023.
Angka ini diyakini masih akan bertambah, mengingat kasus ini berlangsung sejak 2018 hingga 2023.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar menyatakan, nilai kerugian negara kemungkinan jauh lebih besar jika dihitung selama lima tahun.
"Makanya, kita sampaikan, secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, ya berarti kan bisa dihitung, berarti kemungkinan lebih," ujar Harli, dilansir dari pemberitaan Kompas.com, Rabu (26/2/2025).
Akan tetapi, Harli menyatakan perhitungan pasti kerugian negara ini perlu dilakukan oleh ahli keuangan.
Baca juga: Kata Pertamina soal Masyarakat Tak Perlu Khawatir dengan Kualitas Pertamax
Besaran kerugian negara ini juga bisa jadi berbeda di tahun kejadian atau pada jumlah di masing-masing komponennya.
"Misalnya apakah setiap komponen itu di 2023 juga berlangsung di 2018, 2019, 2020, dan seterusnya. Kan, ini juga harus dilakukan pengecekan," ujar Harli.
Harli menuturkan, faktor kerugian negara juga sangat tergantung pada proses distribusi yang dilakukan oleh Pertamina pada saat kasus ini terjadi.
Misalnya, BBM yang didistribusikan ternyata lebih rendah dari spesifikasi yang dibayarkan, selisih harga ini akan diperhitungkan dalam total kerugian negara.
Baca juga: Bertambah, Ini 9 Nama Tersangka dalam Kasus Korupsi Pertamina
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya