BOYOLALI, KOMPAS.com – Air bersih adalah kebutuhan mendasar yang tidak hanya penting untuk saat ini, tetapi juga bagi generasi mendatang. Namun, dengan semakin meningkatnya tantangan perubahan iklim, pencemaran, dan eksploitasi air tanah, menjaga kualitas sumber air menjadi pekerjaan rumah yang tidak bisa diabaikan.
Sebab, air bersih bukan hanya untuk kebutuhan konsumsi. Air juga menjadi penopang sektor pertanian, industri, dan ekosistem alam.
Di Indonesia, kuantitas air sebenarnya masih cukup. Namun, masalah utama justru terletak pada kualitas air yang terus menurun. Hal ini yang diingatkan oleh Pakar Hidrogeologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Heru Hendrayana.
Baca juga: Mengikuti Air dari Lereng Merapi, Ke Mana Singgah dan Pergi?
"Suatu saat kita mungkin akan memiliki banyak air, tetapi kualitasnya tidak bisa digunakan. Manusia adalah faktor yang paling sulit dikendalikan. Ada pencemaran fisika, kimia, dan biologi yang banyak berasal dari aktivitas manusia," tutur Heru.
Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Pusur di Klaten-Boyolali, Jawa Tengah, menjadi contoh nyata pengelolaan sumber air yang baik. Proyek konservasi air di daerah ini menunjukkan bagaimana kondisi hidrogeologi yang kompleks dapat dikelola dengan baik.
Sub DAS Pusur memiliki formasi batuan vulkanik muda yang bersifat poros. Kondisi ini menjadikannya area potensial untuk penyerapan air tanah.
"Di daerah Pusur, air hujan yang jatuh bisa meresap dengan baik karena batuannya masih muda dan poros," jelas Heru.
Baca juga: Cerita Petani Mengembalikan Harmoni antara Tanah, Air, dan Manusia
Heru melanjutkan, para peneliti memetakan area resapan air (groundwater recharge area) secara mendetail. Langkah ini memastikan setiap tindakan konservasi air difokuskan pada lokasi yang memberikan manfaat maksimal.
Heru juga memperkenalkan konsep "sabuk mata air" atau "spring belt" dalam pengelolaan sumber air di Sub DAS Pusur. Terdapat dua sabuk mata air utama di wilayah ini, yaitu Sabuk Mata Air 1 (SB1) dan Sabuk Mata Air 2 (SB2).
"Sabuk mata air ini adalah daerah atau lokasi mata air muncul secara konsisten sepanjang tahun. Menjaga kualitas air di sabuk ini sangat penting untuk ketersediaan air jangka panjang," terangnya.
Pengelolaan di Sub DAS Pusur juga melibatkan pemantauan jangka panjang terhadap 70 mata air dan 40 sumur. Teknologi seperti Automatic Water Level Recorder (AWLR) digunakan untuk memastikan kualitas air tetap terjaga.
"Kami melakukan monitoring debit air dan kualitasnya secara berkala. Ini untuk memastikan tidak ada penurunan signifikan yang bisa membahayakan sumber air," kata Heru.
Upaya konservasi air di Sub DAS Pusur tidak hanya melibatkan satu pihak. Konsep kolaborasi pentaheliks diterapkan dalam upaya ini dengan melibatkan pemerintah, masyarakat, akademisi, pelaku bisnis, dan media. Setiap elemen memiliki peran masing-masing dalam menjaga keberlanjutan sumber daya air.
Baca juga: River Tubing dan Bank Sampah: Kisah Warga Menghidupkan Kembali Sungai Pusur
Pemerintah berperan dalam regulasi dan pengawasan, termasuk Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) dan pengendalian pencemaran air.
"Pemerintah punya peran besar dalam membuat regulasi yang tegas," ujar Heru.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya