Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tambang Laut Dalam Rusak Lingkungan, 40 Tahun Belum Pulih

Kompas.com, 29 Maret 2025, 09:00 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Sumber Reuters

KOMPAS.com - Para ilmuwan mengungkapkan, dasar laut di Samudra Pasifik yang pernah ditambang lebih dari 40 tahun lalu hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan.

Temuan memperkuat desakan untuk menghentikan sementara semua kegiatan penambangan laut dalam.

Salah satu alasannya wilayah tersebut merupakan ekosistem kompleks yang menampung ratusan spesies.

Kesimpulan itu didapat setelah tim ilmuwan dari Pusat Oseanografi Nasional Inggris (NOC) melakukan ekspedisi pada 2023 lalu di Zona Clarion Clipperton yang kaya mineral.

Di sana mereka menemukan bahwa bekas dari uji penambangan tahun 1979 masih dapat terlihat dampaknya.

Baca juga: Ahli BRIN: Laut Makin Tercemar karena Aktivitas Manusia dan Krisis Iklim

Penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature tersebut mengungkapkan bahwa penambangan logam berharga nodul polimetalik dari dasar laut sepanjang delapan meter mengakibatkan perubahan sedimen yang berlangsung lama dan menyebabkan penurunan populasi organisme besar yang hidup di area tersebut.

Walaupun demikian, beberapa makhluk kecil yang lebih lincah telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan.

"Bukti yang diberikan oleh penelitian ini sangat penting untuk memahami potensi dampak jangka panjang," kata pemimpin ekspedisi NOC Daniel Jones dikutip dari Reuters, Jumat (28/3/2025).

Minggu ini, perwakilan dari 36 negara berkumpul di Kingston, Jamaika dalam pertemuan dewan Otoritas Dasar Laut Internasional PBB.

Mereka bertujuan untuk menentukan apakah perusahaan pertambangan boleh mengambil logam seperti tembaga atau kobalt dari dasar laut.

Organisasi lingkungan sendiri mendesak agar penambangan dihentikan. Permintaan ini mendapatkan dukungan dari 32 negara dan 63 perusahaan besar serta lembaga keuangan.

Baca juga: Retno Marsudi: Permukaan Laut Naik 20 Cm, 680 Juta Orang Terancam

"Bukti terbaru ini memperjelas mengapa pemerintah harus bertindak sekarang untuk menghentikan penambangan laut dalam sebelum dimulai," kata juru kampanye Greenpeace Louise Casson.

Sementara itu perusahaan pertambangan asal Kanada, The Metals Company (TMC.O), berencana untuk menjadi perusahaan pertama yang mengajukan izin penambangan resmi pada bulan Juni mendatang.

Perusahaan TMC berpendapat bahwa penambangan di laut dalam menyebabkan kerusakan lingkungan yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan penambangan di daratan.

Craig Shesky, kepala keuangan TMC menjelaskan bahwa dengan penambangan laut dalam, jumlah material yang perlu dipindahkan untuk mendapatkan jumlah logam yang sama jauh lebih sedikit.

"Ini berarti, kadar logam yang lebih tinggi tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan," katanya.

Baca juga: Laju Kenaikan Permukaan Air Laut Melonjak 2 Kali Lipat

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
CIMB Niaga Salurkan 'Green Financing' Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
CIMB Niaga Salurkan "Green Financing" Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
Swasta
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Pemerintah
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
LSM/Figur
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
LSM/Figur
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
Pemerintah
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
LSM/Figur
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
LSM/Figur
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
LSM/Figur
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Pemerintah
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Pemerintah
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Pemerintah
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Pemerintah
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Pemerintah
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau