KLATEN, KOMPAS.com – Siang itu, Jumat (21/2/2025), matahari bersinar terik di Desa Karanglo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Seorang petani setempat, Lilik Sri Haryanto, tampak sibuk dengan botol-botol plastik dan alat semprot di sampingnya. Di bawah bayangan pohon rindang, ia mencampur cairan alami untuk membuat pestisida organik.
"Ini pestisida organik buatan sendiri. Bahan-bahannya (saya dapat) dari sekitar sini saja. Semua alami sehingga tidak mencemari air tanah dan sungai," ujarnya sambil menunjukkan cairan hasil ramuannya kepada tim Kompas.com.
Lilik memilih untuk memakai pestisida organik bukan tanpa alasan. Selain aman, ia mengaku bahwa dari segi biaya, penggunaan pestisida organik lebih terjangkau ketimbang kimia.
Baca juga: Cerita Petani Mengembalikan Harmoni antara Tanah, Air, dan Manusia
"Dengan biaya yang lebih rendah, hasil panen tetap stabil bahkan lebih sehat karena bebas residu kimia," jelasnya.
Pada dasarnya, selain menanam padi, petani punya peran dalam menjaga kelestarian air yang menjadi sumber kehidupan tak tergantikan.
Di wilayah Klaten dan Boyolali, Sungai Pusur menjadi nadi bagi kebutuhan air bersih, pertanian, hingga sektor pariwisata. Namun, tanpa disadari, berbagai aktivitas manusia kerap mencemarinya. Tak terkecuali, pertanian dalam bentuk penggunaan pupuk dan pestisida kimia berlebihan.
Lilik merupakan salah satu contoh sukses program Sekolah Lapang Pertanian yang diinisiasi oleh Pusur Institute dan AQUA Klaten. Program ini memberikan edukasi kepada petani mengenai teknik pertanian regeneratif dan cara menjaga ekosistem air di Sungai Pusur.
Baca juga: River Tubing Pusur, Indahnya Kolaborasi Menjaga Sungai
"Dulu saya berpikir kalau semakin banyak air, tanaman akan semakin subur. Setelah ikut Sekolah Lapang Pertanian, saya baru paham bahwa kami (petani) harus bijak dalam menggunakan air. Sekarang, lahan saya tetap subur dengan air yang lebih hemat dan lingkungan tetap terjaga,” ungkapnya.
Kini, Lilik bertindak tidak hanya sebagai peserta tetapi juga menjadi mentor di Sekolah Lapang Pertanian. Ia memberikan pelatihan kepada petani lain mengenai pembuatan pestisida nabati dan teknik pengelolaan air yang bijaksana.
“Melihat petani lain tertarik dan mau belajar dari pengalaman saya, rasanya luar biasa. Senang banget rasanya kalau ada yang datang dan bertanya, 'Mas, bagaimana cara bikin pupuk organik ini?” tuturnya dengan semringah.
Baca juga: Menjaga Kemurnian Sumber Air Jadi Investasi untuk Masa Depan
Perubahan menuju pertanian ramah lingkungan tentu tidak terjadi dalam semalam. Lilik sendiri mengalami berbagai tantangan dalam proses ini.
"Yang paling sulit itu meninggalkan kebiasaan lama. Dulu, saya selalu menggunakan pupuk kimia dan merasa itu cara paling cepat untuk meningkatkan hasil panen," ujarnya.
Namun, setelah melihat hasil nyata di lahan percobaan Sekolah Lapang Pertanian, ia mulai menerapkan teknik baru di lahannya sendiri. Tantangan terbesar adalah meyakinkan keluarganya bahwa metode baru ini memberikan hasil yang sama baiknya, bahkan lebih sehat untuk lingkungan.
Pada akhirnya, perubahan di lahan Lilik tidak hanya dirasakannya sendiri, tetapi juga dilihat oleh petani lain di desanya.
Baca juga: Konsumen Kurang Mengenal Pertanian Regeneratif
"Awalnya, tetangga-tetangga saya ragu. Namun, ketika panen saya tetap bagus meskipun pakai air lebih sedikit, mereka mulai bertanya-tanya dan akhirnya ikut belajar juga," ceritanya.
Sekolah Lapang Pertanian dari Pusur Institute dan AQUA Klaten sejatinya lebih dari sekadar wadah bagi para petani untuk belajar teknik pertanian regeneratif dan berkelanjutan. Lewat program ini, mereka juga diajarkan cara-cara menjaga kualitas air. Ini mengingat, air menjadi kunci produktivitas sektor tersebut.
Stakeholders Relation Manager AQUA Klaten sekaligus Pengurus Pusur Institute Rama Zakaria menyampaikan, Sekolah Lapang Pertanian tidak hanya memberikan teori, tetapi juga kesempatan praktik langsung di lapangan.
"Petani tidak hanya belajar teori, tetapi juga langsung mencoba di lahan demonstrasi. Ini membantu mereka melihat sendiri hasil dari teknik pertanian ramah lingkungan," jelasnya.
Baca juga: Aqua Perkuat Sinergi dalam Implementasi Ekonomi Sirkular dan Pemanfaatan Material Daur Ulang
Melalui edukasi ini, banyak petani yang awalnya ragu beralih dari penggunaan pupuk kimia berlebihan ke pupuk organik. Mereka juga mulai menerapkan teknik pengairan yang tepat untuk menjaga kualitas air dan meningkatkan produktivitas lahan.
Selain edukasi langsung kepada petani, Pusur Institute juga menginisiasi skema Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL). Melalui skema ini, masyarakat di hulu yang menjaga lingkungan mendapat insentif dari pengguna air di hilir.
"Masyarakat di hulu yang menjaga lingkungan mendapat reward dari pengguna air di hilir. Ini menciptakan rasa tanggung jawab bersama dan memperkuat hubungan antara masyarakat," kata Rama.
Insentif tersebut tidak hanya berupa uang, tetapi juga bantuan akses air bersih dan kebutuhan pertanian. Tujuannya adalah memberikan motivasi tambahan bagi petani untuk konsisten menerapkan praktik pertanian regeneratif dan turut menjaga kualitas air di Sungai Pusur.
Baca juga: Kotoran Sapi Jadi Energi, Sungai Tak Lagi Tercemari
Rama menambahkan bahwa skema PJL tidak hanya soal insentif ekonomi, tetapi juga membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga lingkungan.
"Kami berharap, generasi muda petani bisa melanjutkan praktik-praktik baik ini, sehingga Sungai Pusur tetap lestari," ujarnya.
Program Sekolah Lapang Pertanian menjadi bukti nyata bahwa edukasi yang tepat mampu membawa perubahan signifikan. Pusur Institute dan AQUA Klaten menunjukkan bahwa menjaga kelestarian air bukan hanya tugas pemerintah atau lembaga swasta tetapi juga tanggung jawab bersama masyarakat.
"Kami ingin memastikan praktik pertanian di wilayah hulu, tengah, dan hilir Sungai Pusur tidak menjadi sumber pencemaran air, tetapi justru menjadi bagian dari solusi konservasi lingkungan," ujar Rama.
Baca juga: Kisah dari Daerah Resapan Air: Berkat Alpukat Martabat Terangkat
Tak sia-sia. Sebab kini, edukasi di Sekolah Lapang Pertanian sukses mengubah pola pikir petani.
"Sekarang, saya tidak hanya bertani untuk hidup tetapi juga memastikan tanah dan air tetap sehat untuk anak cucu saya," ucap Lilik
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya