JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Perindustrian menggandeng World Resources Institute (WRI) Indonesia, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) untuk menyusun road map atau peta jalan dekarbonisasi industri. Hal ini guna mencapai emisi net zero pada 2050 yang lebih cepat dari target nasional di 2060.
Pasalnya, industri menyumbang 34 persen emisi nasional. Kendati sektor ini berkontribusi pada 18,9 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap lebih dari 19,3 juta tenaga kerja.
“Peta jalan dekarbonisasi telah disusun untuk sembilan subsektor industri dengan proyeksi reduksi emisi yang signifikan, yaitu 66,5 juta tCO2e emisi pada 2035 dan 289,7 juta tCO2e emisi pada 2050," ungkap Kepala Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian, Apit Pria Nugraha, dalam keterangannya, Jumat (23/8/2025).
Baca juga: Hidrogen Hijau Jadi Solusi Dekarbonisasi Industri di Negara Berkembang
Subsektor itu antara lain semen, besi dan baja, pupuk, kimia, pulp dan kertas, tekstil, kaca dan keramik, otomotif, serta makanan dan minuman.
Berdasarkan emisinya, 46 persen emisi di industri manufaktur berasal dari energi yang dibangkitkan secara langsung, 16 persen dari pembelian listrik, dan 38 persen proses kimiawi produksi serta aplikasi produk.
Dokomen dekarbonisasi industri akan terus dilengkapi untuk sektor yang belum terlibat. Ada lima tipe program atau strategi dekarbonisasi yang digunakan dalam perancangan peta jalan itu.
Prioritas utamanya, mengurangi emisi dengan efisiensi material, penggantian bahan bakar dan material, elektrifikasi dan listrik rendah karbon, serta pemutakhiran proses. Rencananya, Kemenperin bakal menerbitkan Peraturan Menteri Peta Jalan Dekarbonisasi Industri secara bertahap untuk setiap subsektor pada September 2026.
CEO IESR, Fabby Tumiwan, menjelaskan peta jalan dekarbonisasi industri adalah strategi penting untuk mewujudkan ambisi pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Baca juga: Sederet Tantangan Dekarbonisasi Transportasi, dari Bahan Bakar sampai Insentif EV
"Tanpa transisi dari energi fosil, ambisi ini sulit tercapai di tengah ketatnya standar emisi global untuk perdagangan internasional dan permintaan pasar produk yang rendah emisi," papar Fabby.
Implementasi peta jalan memastikan produk Indonesia berdaya saing di pasar ekspor, menarik investasi baru, meningkatkan produktivitas, menekan biaya operasional, serta memperkuat kemandirian energi melalui pemanfaatan energi terbarukan.
"Dampak lainnya dari industri yang minim emisi adalah dapat membuka jalan bagi berkembangnya industri manufaktur hijau dan penciptaan lapangan kerja baru,” imbuh dia.
Sementara itu, Country Director WRI Indonesia, Nirarta Samadhi, mengatakan pencapaian peta jalan dekarbonisasi industri bertumpu pada tiga pilar. Pertama, energi dan material rendah karbon yang terjangkau dan andal.
Kemudian, pendanaan dan insentif hijau untuk mendorong transformasi industri berupa taksonomi hijau, carbon pricing, hingga skema pembiayaan inovatif.
"Ketiga, kebijakan dan regulasi terpadu yang memberi arah dan menciptakan iklim mendukung seperti standar emisi, label produk hijau, pasar domestik produk rendah karbon," ucap Nirarta.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya