Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ren Muhammad

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Menanam Benih Langit di Bumi: Spirit Ketahanan Pangan Nusantara

Kompas.com - 15/04/2025, 20:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

RUSIA sedang naik daun sebagai calon negara adidaya pangan abad-21. Dengan salah satu sektor pertanian terbesar dan paling beragam di dunia, Rusia memiliki potensi besar untuk mendominasi pasar pangan internasional.

Keunggulan signifikan mereka yang ditonjolkan oleh para pengusaha Amerika adalah fakta bahwa makanan Rusia bebas dari Genetically Modified Organism (GMO), yakni organisme hasil rekayasa genetika.

GMO merupakan tanaman, hewan, atau mikroorganisme yang DNA-nya telah dimodifikasi dengan teknologi modern untuk meningkatkan ketahanan terhadap hama, mengoptimalkan hasil panen, dan memberikan toleransi terhadap berbagai kondisi lingkungan.

Teknologi ini telah merevolusi dunia pertanian di banyak negara, meskipun penggunaannya tidak selalu tanpa kontroversi.

Di tengah arus globalisasi yang sarat ambisi dan dinamika, terlihat potret menarik antara Rusia yang mengusung konsep pangan bebas GMO dan Indonesia yang tengah merancang program ketahanan pangan dengan kearifan agrarisnya.

Rusia adalah negara yang dikenal memiliki salah satu sektor pertanian paling luas, memiliki lahan pertanian yang mencapai ratusan juta hektare.

Menurut data FAO, produksi gandum Rusia pada musim panen 2021 mendekati 85 juta ton, menjadikannya salah satu eksportir utama di kancah global.

Sementara itu, di belahan Barat yang tidak kalah mendunia, Amerika Serikat misalnya, telah lama menjadi pionir dalam penerapan GMO.

Data dari International Service for the Acquisition of Agri-biotech Applications (ISAAA) menyebutkan bahwa hampir 90 persen dari tanaman utama seperti jagung, kedelai, dan kapas di Amerika Serikat merupakan hasil rekayasa genetika.

ISAAA adalah organisasi non-profit internasional yang bertujuan memfasilitasi akses dan penyebaran teknologi bioteknologi pertanian, terutama di negara-negara berkembang.

Organisasi ini dikenal luas karena publikasinya tentang perkembangan global tanaman hasil GMO.

Inovasi tersebut memungkinkan produktivitas yang tinggi dengan efisiensi optimal, sehingga volume ekspor komoditas pertanian mencapai puluhan juta ton setiap tahunnya.

Negara-negara seperti Brasil dan Argentina pun telah mengandalkan GMO untuk mengoptimalkan produksi kedelai dan jagung mereka.

Menurut FAO, produksi kedelai di kawasan tersebut mencapai lebih dari 80 juta ton per tahun, menandakan dominasi mereka di pasar global.

Sejatinya, di seantero dunia, pelbagai negara telah mengadopsi teknologi GMO dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi pertanian mereka.

Kanada, dengan regulasi ketat terkait keamanan pangan dan lingkungan, juga menerapkan GMO pada tanaman seperti canola, jagung, dan kedelai.

Di Asia, India telah mengoptimalkan sektor agrikulturnya dengan menggunakan GMO pada kapas (Bt cotton) guna mengatasi serangan hama.

Sedangkan China meskipun masih terbatas dalam penerapan GMO, telah melakukan investasi besar dalam penelitian untuk mengembangkan tanaman yang sesuai dengan kondisi lokal.

Di benua Afrika, Afrika Selatan menerapkan GMO pada kedelai dan kapas dengan tujuan meningkatkan produktivitas dan mengurangi kerugian akibat penyakit tanaman dan serangan hama.

Di sisi lain, Uni Eropa memilih pendekatan yang lebih konservatif. Meski beberapa GMO disetujui untuk penggunaan tertentu seperti pakan hewan dan impor, sebagian besar negara anggota UE lebih berhati-hati dalam penerapan teknologi ini.

Kebijakan yang ketat tersebut mencerminkan perdebatan etika dan kekhawatiran akan dampak lingkungan yang mungkin timbul akibat penggunaan GMO.

Kisah Rusia sebagai negara yang menawarkan pangan bebas GMO, memberikan perspektif unik di tengah lanskap global yang kini semakin kompleks.

Di satu sisi, penggunaan GMO telah membantu banyak negara mencapai produktivitas tinggi dan efisiensi dalam pertanian. Namun di sisi lain, keunggulan makanan Rusia yang bebas GMO merupakan nilai tambah yang menarik bagi konsumen yang mengutamakan kealamian dan kualitas pangan.

Perbandingan ini menyoroti betapa beragamnya pendekatan yang diambil oleh berbagai negara dalam mengelola sektor pertanian mereka, serta menegaskan bahwa tidak ada satu jalan yang sempurna bagi semua kondisi—setiap negara menyesuaikan kebijakan pertanian mereka dengan kebutuhan, budaya, dan kondisi alam yang unik.

Dalam konteks global, pertumbuhan dan inovasi di sektor pertanian menunjukkan bahwa persaingan tidak hanya terjadi dalam hal kuantitas, tetapi juga kualitas.

Sementara negara-negara seperti Amerika Serikat, Brasil, dan Argentina terus mendorong batas teknologi dengan penerapan GMO, Rusia mengambil posisi berbeda dengan menekankan pada kealamian dan keaslian produk pangan.

Keduanya memiliki keunggulan masing-masing dalam menghadapi tantangan dan peluang di era globalisasi, membuat dunia pertanian semakin dinamis dan beragam.

Dalam perjuangannya menjaga kealamian produk, Rusia menerapkan regulasi ketat yang melarang budidaya GMO di lahan domestik.

Kebijakan ini tidak hanya memastikan bahwa setiap butir gandum, barley, dan biji-bijian lainnya tetap murni, tetapi juga memberikan jaminan kepada pasar internasional akan kualitas dan integritas pangan yang dihasilkan.

Komitmen tersebut merupakan bagian dari strategi nasional yang mendukung kedaulatan pangan serta penguatan industri benih lokal, di mana lembaga-lembaga riset dan universitas bekerja sama untuk mengembangkan varietas unggul melalui teknik pemuliaan konvensional.

Investasi dalam riset dan inovasi di sektor pertanian telah turut mengantarkan Rusia pada peningkatan produktivitas komoditas lain seperti jagung dan barley.

Infrastruktur pendukung—mulai dari fasilitas penyimpanan modern hingga sistem irigasi yang efisien—memastikan bahwa setiap tahap produksi berlangsung optimal.

Semua langkah tersebut membentuk sinergi kuat antara teknologi tradisional dan inovasi terukur, menghasilkan produk pangan yang memenuhi standar global tanpa harus mengorbankan kealamian.

Rusia seolah mengajarkan bahwa dalam menghadapi tantangan global, kedaulatan pangan dapat dicapai dengan tetap menjaga nilai kealamian.

Dengan memaksimalkan potensi alam melalui pengembangan varietas lokal dan menerapkan kebijakan rigor dalam pelarangan GMO, Rusia berhasil menciptakan sistem pertanian yang tidak hanya mempertahankan identitasnya, tetapi juga mampu bersaing di pasar ekspor dunia yang menuntut produk berkualitas tinggi dan murni.

Kontekstualisasi Indonesia kiwari

Di tengah persaingan global tersebut, Indonesia— negara agraris dengan potensi alam yang melimpah—menempa jalannya sendiri melalui program ketahanan pangan yang ambisius.

Pada era Presiden Prabowo, pemerintah telah meluncurkan serangkaian kebijakan strategis demi meningkatkan kemandirian pangan nasional.

Data dari Badan Pusat Statistik mencatat bahwa lahan pertanian Indonesia mencapai sekitar 14 juta hektare, dan produksi beras nasional mendekati 70 juta ton pada musim panen terakhir.

Program ketahanan pangan yang digalakkan tidak hanya berfokus pada peningkatan angka produksi, melainkan juga pada efisiensi penyaluran, pengembangan infrastruktur, dan pelestarian keanekaragaman hayati—sebuah langkah yang mengintegrasikan modernisasi teknologi pertanian dengan nilai-nilai kearifan lokal.

Guna mencapai transformasi besar dalam sistem pangan, Indonesia perlu mengintegrasikan teknologi modern dengan kearifan lokal yang telah terbukti selama sekian abad.

Modernisasi pertanian melalui pemanfaatan pertanian presisi, Internet of Things (IoT), serta penggunaan drone untuk pemantauan dan analisis lahan dapat memberikan data waktu nyata yang membantu petani mengoptimalkan produktivitas lahan.

Di sisi lain, peningkatan kualitas infrastruktur—mulai dari jalan akses, fasilitas irigasi, hingga gudang penyimpanan berpendingin—akan mengurangi kerugian pascapanen dan memastikan produk pangan sampai ke konsumen dalam kondisi optimal.

Hal ini sejalan dengan upaya global untuk menciptakan rantai pasok yang efisien dan responsif terhadap dinamika pasar.

Sinergi antara inovasi teknologi dan pemberdayaan petani juga menjadi kunci. Indonesia dapat memperkuat kerja sama antara lembaga riset, perguruan tinggi, dan sektor swasta guna menghasilkan varietas tanaman unggul yang tangguh menghadapi perubahan iklim dan serangan hama.

Program pelatihan intensif dan pendampingan langsung kepada petani akan menanamkan keterampilan dalam mengoperasikan teknologi modern sekaligus menanamkan semangat kedaulatan pangan melalui teknik budidaya tradisional yang telah teruji.

Upaya ini tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga menjaga nilai-nilai budaya agraris yang menjadi identitas bangsa.

Selain upaya peningkatan produktivitas domestik, diversifikasi produk unggulan untuk pasar ekspor juga merupakan langkah strategis.

Mengembangkan produk-produk agroindustri bernilai tambah tinggi, seperti padi organik, jagung lokal, atau produk turunannya, akan memperluas jangkauan pasar internasional.

Konsumen global kini semakin mencari produk yang otentik, sehat, dan berkelanjutan, sehingga keberadaan produk pangan yang tidak hanya berfokus pada kuantitas, tetapi juga kualitas akan memberikan keunggulan kompetitif.

Kebijakan dan insentif pemerintah turut memegang peranan penting dalam transformasi ini. Pemerintah perlu menetapkan regulasi yang mendukung riset dan inovasi di bidang pertanian, memberikan kemudahan permodalan bagi petani, serta menyederhanakan birokrasi agar alur produksi dan distribusi lebih ramping.

Kebijakan semacam ini akan memperkuat fondasi kedaulatan pangan nasional sekaligus membuka ruang bagi pengembangan teknologi yang adaptif terhadap tantangan global.

Di balik upaya mengejar laju Rusia dalam sektor pangan, tersimpan pula semangat untuk mengembalikan harmoni antara manusia, alam, dan tradisi.

Indonesia, dengan kekayaan budaya agrarisnya, tak hanya menciptakan sistem produksi pangan yang efisien dan modern, tetapi juga telah mempertahankan nilai-nilai kealamian dan kearifan lokal.

Integrasi antara inovasi, infrastruktur yang mendukung, pendidikan, dan kebijakan yang proaktif, diharapkan mampu membawa Indonesia menuju masa depan di mana kemandirian pangan bukan hanya menjadi impian, melainkan kenyataan yang berdaya saing di pasar global.

Dengan tekad dan kerja keras, Indonesia siap menapaki jalan menuju transformasi besar dalam sistem pertanian, membuka pintu kemakmuran berkelanjutan sekaligus menjaga identitas agraris yang telah lama menjadi kebanggaan bangsa.

Pendekatan Indonesia ini merupakan cerminan dari visi untuk mengembalikan harmoni antara manusia dan alam.

Sambil mengambil pelajaran dari negara-negara yang telah mengoptimalkan penggunaan GMO untuk mencapai efisiensi, Indonesia bisa memilih untuk menyeimbangkan antara inovasi dan kealamian.

Program ketahanan pangan di era Presiden Prabowo mencanangkan target peningkatan produktivitas hingga 10 persen dalam beberapa tahun ke depan, sekaligus mengupayakan swasembada pangan.

Pendekatan ini tidak hanya memprioritaskan ketahanan pangan, tetapi juga kedaulatan dan identitas nasional yang kental dengan nilai-nilai agraris.

Dalam wajah agraria Indonesia, kedaulatan pangan bukan sekadar urusan produksi dan distribusi, melainkan jalinan kehidupan yang menyatu dengan tanah, langit, dan ruh zaman.

Di balik data statistik produksi beras dan luas lahan sawah, tersembunyi kearifan yang diwariskan turun-temurun oleh masyarakat adat dan komunitas Ulayat: mereka yang menjaga bumi bukan sebagai sumber eksploitasi, melainkan sebagai ibu, sebagai sahabat spiritual, sebagai tubuh bersama tempat segala kehidupan bertumbuh.

Pada era Presiden Prabowo, kini program ketahanan pangan mengalami perluasan arah. Pemerintah menggencarkan lumbung pangan nasional, revitalisasi irigasi, serta perluasan lahan produktif di daerah terpencil.

Namun, jika kita berbicara soal daulat pangan sejati, maka tak bisa hanya berhenti pada angka semata. Kita harus mendengarkan pula bisikan alam yang dijaga oleh para dahyang penjaga tanah—para tetua adat yang menanam bukan hanya benih, tetapi doa dan penghormatan pada siklus kosmik.

Komunitas Ulayat di seluruh penjuru Nusantara—seperti masyarakat Baduy di Banten, Ammatoa Kajang di Sulawesi Selatan, atau Suku Dayak di Kalimantan—menerapkan sistem pertanian yang sangat selaras dengan ekologi dan spiritualitas.

Mereka mengenal larangan membuka hutan sembarangan, membagi kawasan dalam zona sakral dan profan, serta menanam dengan memperhatikan fase bulan dan isyarat bintang.

Padi bukan sekadar komoditas, tapi makhluk hidup yang diberi penghormatan: diberi upacara saat menanam, dipanjatkan doa saat panen, dan dijaga dalam lumbung-lumbung sebagai “tubuh suci kehidupan”.

Kearifan seperti ini, yang dalam istilah banyak masyarakat adat disebut sebagai adat bertani, justru mengandung prinsip keberlanjutan dan harmoni ekologis yang jauh lebih visioner dari model industrial pertanian modern yang eksploitatif.

Mereka telah lama mempraktikkan sistem tanpa GMO, tanpa pestisida kimia, dan penuh rotasi lahan alami. Dalam istilah modern, ini disebut agroekologi spiritual, tapi bagi mereka, ini sekadar cara hidup yang alami dan sakral.

Untuk mengejar laju Rusia dalam membangun kedaulatan pangan berbasis nilai, Indonesia dapat dan harus memadukan dua kekuatan besar: modernisasi cerdas dan penguatan akar kebudayaan lokal.

Pada satu sisi, pengembangan pertanian presisi dengan drone, IoT, dan AI bisa diterapkan pada wilayah sentra produksi strategis.

Di sisi lain, pemerintah harus melindungi dan memperkuat pertanian adat dan lokal melalui kebijakan hukum yang jelas: hak atas tanah ulayat, perlindungan benih lokal, dan pengakuan atas praktik pertanian spiritual-berbasis komunitas.

Langkah-langkah seperti pendampingan agroekologi untuk petani muda, pemetaan wilayah adat sebagai penyangga ekosistem pangan, dan integrasi nilai-nilai spiritual dalam kurikulum pertanian modern, akan menciptakan tatanan pangan yang bukan hanya kuat, tapi juga beradab.

Indonesia tidak mesti seperti Rusia. Namun, Indonesia harus jadi dirinya sendiri—negara agraris besar yang kedaulatan pangannya tumbuh dari ladang yang disarati doa, dari benih yang diwariskan, dari tubuh bumi yang dipeluk, bukan ditaklukkan.

Inilah kekuatan utama yang tak tergantikan oleh laboratorium: kearifan yang hidup di ladang, dalam jiwa petani, dan semesta nilai yang telah lama menghidupi Negeri Matahari ini.

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau