Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negara Berkembang Kecewa, Pajak Karbon Pelayaran Dinilai Kurang Ambisius

Kompas.com - 16/04/2025, 12:00 WIB
Eriana Widya Astuti,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Negara-negara berkembang menyatakan kekecewaannya pada keputusan Organisasi Maritim Internasional (IMO) yang baru saja mengesahkan pajak karbon global pertama bagi industri pelayaran.

Meskipun disebut sebagai langkah bersejarah, kebijakan ini dianggap terlalu lemah dan tidak cukup cepat untuk menjawab krisis iklim, terutama bagi negara-negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Sistem pungutan karbon ini akan mulai diberlakukan pada tahun 2028. Kapal-kapal yang menghasilkan emisi intensif akan dikenakan biaya sebesar USD 380 per ton karbon, ditambah USD 100 per ton untuk emisi yang melebihi ambang batas tertentu.

Meski terdengar progresif, pendanaan yang diperkirakan terkumpul dari kebijakan ini hanya sekitar USD 10 miliar per tahun, jauh di bawah potensi USD 60 miliar per tahun dari skema pajak tetap yang lebih ambisius.

“Perjanjian ini terlalu sedikit dan datang terlalu terlambat untuk memangkas emisi dari pelayaran serta melindungi pulau-pulau kami,” ujar salah satu delegasi dari Kepulauan Pasifik yang memilih abstain dalam pemungutan suara, dikutip dari Earth.org pada Rabu (15/04/2025).

Baca juga: Transformasi Industri Elektronik, Gandeng UMKM dan Kurangi Emisi Karbon

Sebanyak 24 negara, termasuk sembilan negara Pasifik, menyatakan ketidakpuasannya terhadap hasil perundingan yang berlangsung selama dua pekan di London.

Sementara itu, Amerika Serikat secara resmi menarik diri dari proses negosiasi. Dalam pernyataan resminya, AS menolak segala bentuk pungutan terhadap kapal berbendera Amerika dan menyebut kebijakan ini sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional.

Meski begitu, langkah IMO ini tetap dianggap penting dalam upaya mendekarbonisasi sektor pelayaran—sektor yang saat ini menyumbang hampir 3 persen dari total emisi karbon global. Namun, target IMO untuk mengurangi emisi sebesar 20 persen pada tahun 2030 dinilai belum sejalan dengan ambisi menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius sebagaimana ditetapkan dalam Perjanjian Paris.

Dengan pelayaran yang menjadi tulang punggung perdagangan global—mengangkut sekitar 90 persen barang di dunia—keputusan ini menjadi ujian awal atas keseriusan dunia dalam membawa sektor ini menuju masa depan rendah karbon.

Baca juga: Microsoft Beli 3,7 Juta Ton Karbon dari Proyek Carbon Dioxide Removal

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau