KOMPAS.com - Sepanjang hidupnya, Biim dan ibunya, Samsiah, selalu berhadapan dengan masalah air.
Pandan Indah, desa yang berjarak satu jam perjalanan dari Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, tempat mereka tinggal, adalah wilayah yang kering.
Air bukannya tidak ada, tetapi tersimpan jauh di bawah tanah sehingga sulit dimanfaatkan.
Akhirnya, untuk minum, membersihkan diri, dan memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya, Biim dan Samsiah harus membeli air.
Harga air terus naik. Saat ini, satu ember air dibanderol Rp 5.000. Setiap keluarga membutuhkan setidaknya enam ember per hari. Jadi, jika harus membeli seluruh kebutuhan air, mereka harus merogoh kocek sekitar Rp 900.000 per bulan.
"Kadang saat menstruasi saja, saya harus mikir pakai airnya biar hemat," kata Biim.
Pada 2015, desa memiliki inisiatif memasang pompa air berbahan bakar solar.
Mendapatkan air memang jadi lebih mudah, tetapi biayanya juga tidak murah.
Satu liter solar harganya Rp 15.000. Untuk mengisi tangki hingga penuh, dibutuhkan sekitar enam liter solar. Jika pompa menyala setiap hari, maka biaya per bulan bisa mencapai jutaan rupiah.
Memang, antar-keluarga bisa berbagi biaya solar. Namun, bagi warga setempat, tetap saja itu terhitung mahal.
Bukan hanya itu.
Perempuan desa harus berjalan setidaknya dua kilometer ke pangkalan solar.
Solar pun tidak selalu tersedia. Pangkalan kerap kali tutup tanpa pemberitahuan.
Ini menambah beban perempuan, terutama yang sudah berkeluarga. Anak-anak sering ditinggal karena ibunya harus bolak-balik membeli solar.
Ide Pompa Air Tenaga Surya
Menyadari persoalan di desanya, Biim dan perempuan desa lainnya mengusulkan perubahan sistem pompa air: dari tenaga solar menjadi tenaga surya.
Usulan itu tidak datang tiba-tiba.
Biim dan rekan-rekan perempuannya tergabung dalam Sekolah Setara, sebuah inisiatif dari Gema Alam, lembaga yang mendampingi desa.
Baca juga: China Bangun Tembok Raksasa Tenaga Surya, Bisa Pasok Listrik Seluruh Kota
Mereka mengidentifikasi potensi dan tantangan desa.
Dari sisi energi, satu hal yang mereka sadari adalah melimpahnya sinar matahari.
"Kami sendiri sering bilang, desa ini mataharinya sepuluh," kata Biim.
Musim kemarau berlangsung hingga September. Oktober hingga Desember memang ada hujan, tetapi energi matahari tetap tinggi.
Lembaga pendamping menghubungkan warga dengan Irwan Aditya, Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Lingsar, yang juga ahli energi terbarukan.
Kepada warga, Irwan mengonfirmasi potensi energi matahari di desa dan menunjukkan sejumlah proyek pompa air tenaga surya yang telah ia kerjakan di hotel-hotel di Lombok.
Ia juga mengungkapkan perkiraan biaya peningkatan sistem yang mencapai sekitar Rp 48 juta.
Kepala desa kemudian membawa gagasan ini ke pemerintah kabupaten untuk mencari dukungan pendanaan.
Setelah melalui proses administrasi yang rumit, pemerintah lokal setuju mendanai sekitar Rp 31 juta. Sisanya ditanggung oleh lembaga pendamping.
Bersama Irwan, warga memasang panel surya, melakukan pengukuran energi yang terkumpul, dan menguji coba kemampuan pompa dalam menaikkan air.
"Energinya besar. Sampai jam 10 pagi kadang sudah terkumpul 5.000 Watt," kata Irwan.
Tahun ini, pompa air tenaga surya itu mulai dimanfaatkan.
Matahari yang Membebaskan
Saat ditemui Kompas.com pada Selasa (29/4/2025), Biim dan Samsiah mengungkapkan kegembiraannya setelah pompa air tenaga surya mulai beroperasi.
“Dulu sering tidak mandi. Sekarang, mau mandi lima kali sehari, bisa,” kata Samsiah dalam bahasa lokal, yang kemudian diterjemahkan oleh Biim.
Ia juga senang karena di usianya yang sudah 60-an, ia masih bisa berguna bagi masyarakat.
Samsiah, yang rumahnya berdekatan dengan lokasi pompa air, ditunjuk sebagai operator. Ia bertanggung jawab menyalakan dan mematikan pompa, melaporkan jika ada masalah, serta berkoordinasi dengan pihak desa terkait distribusi air.
Baca juga: Lonjakan Permintaan dan Perubahan Iklim Sebabkan Kurangnya Pasokan Tenaga Surya
Biim yang sempat kuliah di Malang senang desanya maju dan bisa berperan. Dia pun merasa lega karena tak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membeli air.
“Pakai matahari ini kan gratis,” ujarnya.
Dan yang terpenting, perempuan desa kini lebih bebas.
“Sudah tidak perlu lagi jalan beli solar. Yang sudah berkeluarga bisa memasak, mengasuh anak, tanpa harus repot jalan jauh, punya waktu untuk dirinya,” imbuh Biim.
Muhammad Juaini, panel pakar di Gema Alam, menyatakan bahwa keberhasilan proyek pompa air tenaga surya ini membuktikan kapasitas perempuan.
“Perempuan bisa menggerakkan desa, bisa berperan dalam transisi energi,” katanya.
Tapi, jika transisi energi di Pandan Indah ini drama Korea, ini belum episode 16 yang biasanya puncak kegembiraan.
Masih banyak follow-up yang perlu dilakukan.
Ke depannya, melalui Sekolah Setara, pihak Gema Alam akan kembali melatih perempuan desa agar lebih memahami energi terbarukan dan dapat mengoperasikan pompa air.
“Karena kalau hanya satu orang yang jadi operator, tentu tidak cukup,” ungkapnya.
Tantangan berikutnya adalah membangun infrastruktur pipa yang menyambungkan tandon penampung air ke lebih banyak rumah.
Irwan menambahkan bahwa saat diskusi—yang juga melibatkan perempuan—warga memutuskan untuk membuat sistem pompa air tenaga surya tanpa baterai penyimpanan energi. Alasannya, selain karena biaya baterai yang mahal, juga karena pertimbangan lingkungan.
Keputusan tersebut mencerminkan wawasan lingkungan yang dimiliki para perempuan.
Namun, Irwan menyatakan bahwa masih perlu lebih banyak perempuan yang memahami energi terbarukan. Kondisi di SMK-nya mencerminkan hal itu.
“Saat awal, jurusan energi terbarukan di SMK kami punya sejumlah siswa perempuan. Sekarang nol. Mungkin karena banyak perempuan belum tahu manfaatnya. Kita masih perlu meningkatkan jumlah perempuan yang tertarik belajar soal ini,” jelasnya.
Baca juga: Peneliti UI Bikin Tabung Listrik Motor Konversi, Bisa Di-charge Tenaga Surya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya