Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gelombang Panas di Asia Selatan Datang Lebih Awal, Ancaman Iklim Makin Nyata

Kompas.com - 02/05/2025, 09:46 WIB
Eriana Widya Astuti,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Gelombang panas ekstrem kembali melanda Asia Selatan, tetapi kali ini datang lebih cepat dari biasanya.

Fenomena cuaca ekstrem ini memperkuat kekhawatiran akan dampak perubahan iklim dan pemanasan global di kawasan berpenduduk padat ini.

Biasanya, gelombang panas di wilayah Asia Selatan mulai meningkat pada Mei dan mencapai puncaknya di bulan Juni sebelum mereda saat musim hujan tiba.

“Asia Selatan kini mengalami peralihan yang sangat singkat dari musim semi ke suhu panas ekstrem,” ujar GP Sharma, lembaga prakiraan cuaca India, Skymet, sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Kamis (01/05/2025).

Dampak krisis iklim semakin nyata dengan minimnya akses terhadap alat pendingin, layanan kesehatan, dan air bersih bagi sekitar 1,9 miliar orang yang hidup di wilayah ini.

Di ibu kota India, Delhi, suhu sudah mencapai 40 derajat Celsius di bulan April—lima derajat lebih tinggi dari rata-rata musiman. Platform pemantau cuaca ekstrem ClimaMeter menyebut, kondisi ini sebagai dampak langsung pemanasan global akibat aktivitas manusia.

Gianmarco Mengaldo, ahli iklim dari National University of Singapore dan penulis laporan ClimaMeter, mengatakan bahwa gelombang panas ini bukan anomali, melainkan sinyal bahaya yang jelas.

“Masyarakat dan pemerintah harus segera mengambil tindakan untuk menanggulangi masalah ini,” ujarnya.

Pemerintah wilayah Delhi sejauh ini mengambil langkah darurat, seperti menghentikan kegiatan belajar sore di sekolah, menyediakan air minum dan larutan rehidrasi oral, serta menyiagakan petugas medis untuk menangani stres panas.

Di Jaipur, ibu kota negara bagian Rajasthan, suhu mencapai 44 derajat Celsius dan menyebabkan peningkatan laporan serangan panas, terutama pada pekerja konstruksi dan petani.

Badan Meteorologi India mencatat bahwa jumlah hari dengan suhu ekstrem tahun ini sudah melebihi rata-rata, dan suhu diperkirakan terus naik hingga pertengahan minggu depan.

Sementara itu, Pakistan juga mengalami suhu ekstrem. Di Shaheed Benazirabad, Provinsi Sindh, suhu mencapai 50 derajat Celsius—sekitar 8,5 derajat lebih tinggi dari rata-rata bulan April. Di berbagai wilayah lain, suhu bertahan di kisaran 40 derajat Celsius.

Harian Dawn di Pakistan melaporkan bahwa panas ekstrem yang sebelumnya jarang kini makin sering terjadi akibat perubahan iklim. Namun, baik India maupun Pakistan dinilai belum cukup siap menghadapi krisis iklim yang makin parah.

Data perbandingan suhu antara 1950–1986 dan 1987–2023 menunjukkan bahwa kota-kota besar seperti Delhi dan Islamabad kini lebih panas hingga 3 derajat Celsius dibandingkan wilayah pedesaan, diperparah oleh efek panas perkotaan (urban heat).

Mengaldo menegaskan bahwa perdebatan bukan lagi soal apa penyebab gelombang panas, melainkan seberapa parah ambang suhu ekstrem yang kini sudah terlampaui. Ia juga memperingatkan bahwa infrastruktur saat ini belum mampu mengantisipasi dampaknya.

Walau fenomena seperti El Niño bisa mempengaruhi suhu global, saat ini siklusnya berada dalam fase netral. Menurut ClimaMeter, suhu cuaca serupa kini bisa 4 derajat Celsius lebih panas dibanding masa sebelum 1986—sebagian besar akibat aktivitas manusia.

Baca juga: Pohon yang Beragam Bikin Kota Tangguh Iklim dan Warga Bahagia

Tak hanya Asia Selatan, wilayah Timur Tengah juga mencatat suhu musim semi yang mengancam kelangsungan hidup manusia. Musim panas di Spanyol dan Prancis juga diperkirakan akan memecahkan rekor suhu dalam waktu dekat.

“Kita sebelumnya memperkirakan kejadian seperti ini baru terjadi pada 2050 atau 2070. Ternyata, semuanya datang lebih cepat. Model prediksi kita gagal menangkap percepatan ini,” kata Mengaldo.

David Faranda, ilmuwan senior dari Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis dan rekan penulis laporan, menegaskan bahwa solusi jangka panjang hanya bisa dicapai deng[an menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan memangkas emisi karbon secara besar-besaran.

Jika tidak, dunia akan menghadapi konsekuensi iklim yang mengerikan. Faranda juga menyoroti pentingnya adaptasi iklim lewat isolasi bangunan yang baik, penggunaan energi hijau, dan desain yang mendukung pendinginan alami.

Meski upaya mitigasi dilakukan sekarang, sistem iklim tetap membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk kembali stabil.

“Kenaikan permukaan laut misalnya, akan terus terjadi selama ratusan tahun mendatang,” ujarnya.

Faranda dan Mengaldo sepakat bahwa ketimpangan ekonomi dan lemahnya infrastruktur menjadi faktor penentu siapa yang bisa bertahan di tengah cuaca ekstrem. Mereka yang tidak punya akses pada alat pendingin atau air bersih berada dalam risiko terbesar.

Delhi kini memperbarui rencana aksi menghadapi panas ekstrem, dengan fokus pada kelompok rentan seperti lansia, buruh lapangan, dan pedagang kaki lima. Namun pelaksanaan di lapangan masih belum merata.

Faranda menambahkan bahwa adaptasi makin sulit dijangkau oleh negara-negara berkembang yang rentan terhadap suhu ekstrem, terutama dengan masalah pasokan listrik yang tidak stabil.

“Kita membutuhkan rumah-rumah yang lebih terisolasi, material bangunan yang efisien dalam menjaga suhu, dan desain arsitektur yang mendukung pendinginan alami,” ujar Mengaldo.

Menurut Faranda, transisi energi juga harus dibarengi perubahan gaya hidup. Selain memperluas pemanfaatan energi terbarukan, masyarakat harus mengurangi konsumsi energi lewat arsitektur hemat energi dan kebiasaan baru yang lebih berkelanjutan.

Baca juga: Krisis Iklim Merenggut Kesempatan Anak untuk Bersekolah

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau