KOMPAS.com - Bayangkan ini: setiap tahun, Indonesia menghasilkan 56,63 juta ton sampah. Namun, hanya sekitar 39 persen yang berhasil dikelola. Sisanya? Mengendap di sungai, menumpuk di TPA, atau hanyut ke laut. Ironisnya, lebih dari setengah TPA di Indonesia masih menggunakan sistem open dumping—buang langsung tanpa proses pengelolaan yang layak.
Di tengah situasi genting ini, suara penting datang dari Salli Atika Noor Rahma, Sekretariat Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut. Dalam acara Belantara Learning Series Episode 12, ia menekankan satu hal: masa depan lingkungan ada di tangan generasi muda.
Dan Salli tidak asal bicara. Generasi Z, yang lahir antara 1997–2012, berjumlah lebih dari 71 juta orang. Jika mereka tergerak, perubahan nyata bukan hal mustahil. Tak perlu dimulai dari hal besar. Cukup dari rumah—pilah sampah, kurangi plastik, dan biasakan berpikir dua kali sebelum membuang sesuatu.
“Kita harus mulai melakukan inisiatif untuk melakukan perubahan perilaku dan pola pikir masyarakat, khususnya generasi muda,” kata Salli.
Suara senada juga datang dari Ramon Y. Tungka, aktor sekaligus pegiat lingkungan. Ia mendorong gaya hidup ramah lingkungan menjadi kebiasaan sehari-hari.
"Mulai menggunakan tumbler dan membawa tas dari rumah setiap belanja itu harus jadi gaya hidup sehari-hari,” ujar Ramon.
Baca juga: Kunjungan Wamendagri ke EcoBali Perkuat Sistem Pengelolaan Sampah Desa di Bali
Sekolah Jadi Medium Penting
Sementara itu, Yasra Al-Fariza, Ketua Bank Sampah Induk New Normal, percaya bahwa perubahan paling kuat datang dari anak-anak yang tumbuh dengan kesadaran baru. Karena itu, pihaknya aktif menggandeng sekolah-sekolah dalam edukasi langsung.
“Kami mendatangi sekolah Adiwiyata, bahkan mengajak anak-anak sekolah untuk datang ke lokasi Bank Sampah Induk New Normal guna memotivasi dan menggugah mereka untuk tahu bagaimana cara mengelola dan mendaur ulang sampah,” jelas Yasra.
“Kami terus memberikan edukasi dan penyadartahuan kepada masyarakat, mulai dari mengurangi dan memilah sampah, mendaur ulang, hingga mengadakan pelatihan membuat produk kerajinan tangan dari sampah,” lanjutnya.
Program edukatif seperti Sekolah Bahari Indonesia juga menjadi bagian dari strategi untuk menumbuhkan kesadaran sejak dini. Salli menyebut bahwa ribuan siswa dari berbagai provinsi telah ikut berpartisipasi.
“Langkah ini kami ambil untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang bahayanya sampah yang tidak terkelola dengan baik lalu terbawa ke laut,” ujarnya.
Kita sering mendengar bahwa anak muda adalah harapan masa depan. Tapi hari ini, harapan itu harus turun tangan. Harus kerja keras. Kita tidak bisa menunggu lebih lama.
Baca juga: Sampah, Sumber Emisi yang Terabaikan dan Peluang Ekonomi yang Terlupakan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya