JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 752 anggota Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) telah menetapkan standar penanganan kebakaran hutan dan lahan atau karhutla.
Hal ini dilakukan, seiring dengan imbauan Kementerian Lingkungan Hidup terkait penanganan kebakaran lahan sawit. Sekretaris Jenderal Gapki, M Hadi Sugeng, mengakui pencegahan maupun penanganan karhutla memerlukan kerja sama banyak pihak.
“Meskipun belum semua perusahaan sawit tergabung dengan Gapki, namun kami tetap merangkul seluruh stakeholder industri ini agar bersama-sama dalam pencegahan karhutla,” ujar Hadi dalam keterangannya, Selasa (13/5/2025).
Pihaknya melakukan pencegahan kebakaran lahan dengan merangkulpihak berbasis landscape yang melibatkan perusahaan sawit, pemerintah, serta Masyarakat Peduli Api (MPA).
Baca juga: 10 Kabupaten Kota di Riau Umumkan Status Siaga Karhutla
Perusahaan juga melakukan standardisasi sumber daya manusia melalui pelatihan hingga sertifikasi.
“Selain kepatuhan terhadap regulasi, sarana dan prasarana yang senantiasa tersedia dengan kondisi yang baik dan terawat telah dimiliki oleh perusahaan-perusahaan anggota Gapki di seluruh Indonesia,” jelas Hadi.
Upaya itu antara lain modifikasi cuaca, membuat himbauan, serta standar kelengkapan sarana dan prasarana dalam pencegahan maupun penanganan karhutla.
Hadi menuturkan, pencegahan karhutla meliputi pemetaan area rawan titik api maupun memastikan tersedianya sumber air di area tersebut.
"Selain itu, perusahaan sawit juga telah memanfaatan teknologi drone dengan jangkauan terbang lebih dari 30 kilometer," imbuh dia.
Baca juga: Deforestasi 2024 Capai 175.400 Hektare, Penyebabnya Karhutla dan Gambut
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menyebut data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan delapan provinsi di Indonesia rawan kebakaran lahan.
Kedelapan provinsi itu antara lain Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimatan Timur, Kalimantan Utara, dan Riau. Lahan-lahan tersebut kerap bersigungan dengan perkebunan kelapa sawit.
Oleh sebab itu, KLH berkoordinasi dengan Gapki pada kegiatan Konsolidasi Kesiapan Personil dan Peralatan Pengendalian Kebakaran Lahan di Provinsi Riau.
Hanif menekankan kerja sama pemangku kepentingan penting karena lebih dari 4 juta hektare lahan perkebunan sawit terletak di Riau.
Baca juga: 629 Karhutla Landa RI Sepanjang 2024
“Kami menghimbau perusahaan-perusahaan sawit agar bergabung dengan Gapki untuk memudahkan dalam penanganan kebakaran lahan,” tutur Hanif.
Sebelumnya, Hanif menjelaskan kebakaran lahan disebabkan lima faktor antara lain penyiapan tanaman pertanian dan perkebunan di wilayah dengan lahan hutan.
"Kedua, kebakaran lahan dan kebakaran hutan berulang dominan pada lahan yang ada konfliknya. Misalnya di Sumatera Selatan dan Jambi selalu berulang-ulang di daerah tersebut karena ada konflik,” ungkap dia, Kamis (17/4/2025).
Ketiga, adanya aktivitas ilegal di lahan terbuka. Selanjutnya, disebabkan kondisi lahan terutama area gambut di mana pada musim kemarau sangat mudah terbakar. Kurangnya pengetahuan masyarakat soal bahaya kebakaran hutan pun meningkatkan angka kejadian tersebut.
Baca juga: Gapki Antisipasi Kebakaran Lahan Sawit Jelang Musim Kemarau
“Kemudian, tingkat respons dan partisipasi penanganan kejadian kebakaran lahan secara tepat di tingkat tapak masih sangat rendah. Karena kapasitas SDM, peralatan akses, ketersediaan air dan keterbatasan pendanaan,” ucap Hanif.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya