Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Samdysara Saragih
Praktisi kebijakan energi

Anggota Muda Persatuan Insinyur Indonesia-Badan Kejuruan Teknik Fisika

Paus Leo XIV dan Masa Depan Energi Terbarukan

Kompas.com - 14/05/2025, 13:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETELAH terpilih sebagai pemimpin Tahta Suci Vatikan, Paus Leo XIV menjadi magnet pemberitaan. Sosok bernama asli Robert Francis Prevost tersebut dikuliti luar dan dalam, entah di media massa maupun di media sosial.

Yang paling menarik adalah statusnya sebagai warga negara Amerika Serikat (AS) kelahiran Kota Chicago, Illinois.

AS bukan negara mayoritas Katolik, tetapi berhasil mengirim seorang puteranya sebagai pemimpin spiritual bagi 1,4 miliar warga dunia.

Di luar bumbu-bumbu personal, kiprah kepemimpinan Paus Leo XIV-lah yang paling ditunggu-tunggu. Sejumlah pengamat memprediksi Paus Leo XIV akan melanjutkan kiprah pendahulunya, mendiang Paus Fransiskus (1936-2025).

Era Paus Fransiskus dalam kurun 2013-2025, memiliki jejak unik dalam sejarah kepausan modern. Paus ke-266 tersebut memberikan penekanan khusus tentang isu sosial, salah satunya lingkungan.

Pada Mei 2015, Paus Fransiskus menerbitkan ensiklik bertajuk Laudato Si (Terpujilah Engkau). Surat amanat ini berisi refleksi teologis tentang bagaimana menghindarkan Bumi dari kerusakan dan pencemaran.

Pada poin 26 ensiklik, Fransiskus mendorong pengembangan sumber-sumber energi terbarukan untuk mengganti bahan bakar fosil.

“Di seluruh dunia akses ke energi bersih dan terbarukan masih minim. Masih perlu dikembangkan teknologi penyimpanan energi yang memadai,” tulis Paus dalam Laudato Si versi terjemahan Konferensi Waligereja Indonesia (2016).

Baca juga: Aksi Iklim Tak Boleh Gulung Tikar

Data International Renewable Energy Agency (IRENA) membuktikan dampak ensiklik tersebut. Pada 2015, ketika Laudato Si diterbitkan, IRENA mencatat kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan dunia sebesar 1.851 GW.

Sembilan tahun berselang, atau pada 2024, kapasitas terpasang melonjak menjadi 4.448 GW atau naik 140 persen.

Perlu diingat bahwa sepanjang 2015-2024, muncul sejumlah inisiatif hijau. Yang paling monumental adalah pada akhir 2015, ketika Perjanjian Paris menetapkan ikrar untuk menahan kenaikan suhu Bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius.

Ensiklik Paus Fransiskus bersama dengan inisiatif lainnya turut andil mendorong penetrasi energi terbarukan.

Energi Vatikan

Paus adalah pemimpin umat Katolik sedunia. Kekuasaannya bersifat spiritual dan lintas batas negara.

Meski demikian, paus adalah kepala negara berdaulat, memimpin negara terkecil di Bumi, Vatikan. Luas negara ini hanya 44 ha dan penduduknya kurang dari 1.000 orang.

Sebagai kepala negara, paus tertuntut pula untuk melakukan langkah konkret. Untuk hal ini, buktinya memang meyakinkan.

Berdasarkan situs resmi Vatikan, Paus Fransiskus pada Juni 2024, memerintahkan pembangunan "agrivoltaic plant" untuk memasok energi listrik kota tersebut.

Agrivoltaic berkonsep pemanfaatan areal untuk panel surya sekaligus kegiatan pertanian. Telah dipilih properti milik Vatikan di luar Kota Roma seluas 424 ha untuk mengadopsi konsep ini.

Baca juga: Dua Sisi Gasifikasi Batu Bara

Energi terbarukan mulai diadopsi Vatikan pada 2008, ketika 2.394 panel surya digelar di atap gedung The Paul VI Audience Hall. PLTS berkapasitas 221 kW tersebut sanggup membangkitkan energi listrik sebesar 300 MWh per tahun.

Cukupkah? Berdasarkan dokumen yang diserahkan Vatikan kepada UNFCCC, konsumsi listrik Vatikan pada 2022 sebesar 30.000 MWh.

Selain PLTS di atap The Paul VI Audience Hall, terdapat dua titik suplai listrik lain di Vatikan dari pembangkit Italia.

Implementasi energi terbarukan hanyalah salah satu strategi pengurangan jejak karbon Vatikan. Seperti banyak negara lain, Vatikan menetapkan 2050 sebagai tahun untuk mencapai emisi nol bersih.

Legitimasi moral

Menimbang kecilnya wilayah Vatikan, keberhasilan suplai 100 persen energi terbarukan, andai pun terjadi, mungkin tidak terlalu terasa signifikan untuk Eropa.

Namun, pengaruh Vatikan yang tak dapat dibantah adalah legitimasi moralnya yang lintas batas negara.

Hal ini kian penting karena dunia tengah memasuki era skeptisisme terhadap energi terbarukan. Sejumlah kontestasi demokrasi menghadirkan kandidat yang pesimistis dengan kemajuan pengembangan energi bersih.

Di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump telah mengeluarkan sejumlah kebijakan pro-energi fosil. Padahal, era Joe Biden sudah cukup menjanjikan untuk memacu energi terbarukan.

Mengutip the International Energy Agency (IEA) pada 2024, AS sebenarnya sudah menargetkan dominasi pembangkit bebas karbon pada 2035. Namun, semua terbalik begitu Trump terpilih pada Pemilu 2024 dan dilantik pada 20 Januari lalu.

Fokus Trump selama 2025-2029 adalah mengembalikan dominasi energi AS. Untuk mendukung hal ini, dia telah membentuk Dewan Dominasi Energi Nasional (the National Energy Dominance Council) pada Februari 2025.

Melalui perintah eksekutifnya, Trump telah mengelompokkan sumber-sumber energi untuk kemakmuran ekonomi dan keamanan Amerika: minyak mentah, gas alam, kondensat, uranium, batu bara, biofuel, air, dan panas bumi.

Baca juga: Urgensi “Penerus Sejati” Paus Fransiskus

Tidak tersebut dua sumber energi terbarukan yang bersifat intermiten: surya dan angin!

Kebijakan Trump memang mewakili pembelahan ideologi di sana, yaitu antara konservatif dan liberal. Kubu konservatif yang saat ini berkuasa membalikkan semua kebijakan iklim Joe Biden yang liberal.

Paus Leo XIV tentu paham benar keadaan negerinya. Jika benar spekulasi bahwa jejak pro-lingkungan Paus Fransiskus akan diteruskan, bisa jadi Paus Leo XIV akan mendapat label “liberal” yang kontras dengan konservatisme Trump.

Menurut saya, Paus Leo XIV tidak perlu menyeret diri dalam pembelahan ideologi di negeri asalnya. Lebih baik dia fokus dengan kawasan dunia yang kebijakan lingkungannya sudah mantap.

Eropa, misalnya, sebagai blok ekonomi tetap fokus dengan pencegahan perubahan iklim. Di sisi lain, Afrika dan Asia diproyeksikan akan terdampak perubahan iklim sehingga perlu dibimbing untuk melakukan adaptasi dan mitigasi.

Ada juga China yang prestasinya dalam menggeber energi terbarukan membuat takjub. Sayangnya, hubungan Vatikan dengan Negeri Panda lagi tidak hangat karena langkah rezim Partai Komunis China yang mengintervensi Gereja Katolik di sana.

Jika kontak bisa dibuka, akan terdapat simbiosis mutualisme dalam perjuangan memangkas emisi karbon.

Laudato Si harus terus digemakan oleh Paus Leo XIV, baik kepada negara-negara Katolik maupun bukan. Usaha pencegahan iklim merupakan aktivitas lintas iman karena bumi ini adalah milik kita bersama.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau