KOMPAS.com - Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Ani Mardiastuti, mengungkap keprihatinannya atas maraknya perburuan dan perdagangan ilegal burung cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), salah satu satwa endemik Papua yang kini berstatus dilindungi.
Menurutnya, alasan budaya sering dijadikan tameng untuk mengeksploitasi burung langka yang dijuluki "burung surga" ini.
“Burung cenderawasih ini tidak boleh dipelihara, diperjualbelikan, bahkan satu helai bulu pun tak boleh diambil dari alam,” tegas Ani dalam keterangan tertulis, Rabu (14/5/2025).
Cenderawasih kuning-besar jantan dikenal dengan tampilan mencolok dan bulu yang memikat, sementara betinanya cenderung sederhana, mirip burung gagak dengan nuansa kemerahan. Burung ini hidup di pedalaman hutan Papua.
Nama ilmiahnya, Paradisaea apoda, berasal dari kesalahpahaman masa lalu. Ketika pertama kali dibawa ke Eropa dalam bentuk awetan tanpa kaki, orang Eropa mengira burung ini memang tidak berkaki—maka lahirlah sebutan "burung surga tanpa kaki".
Ani mencatat bahwa eksploitasi burung ini sudah terjadi sejak lama.
Baca juga: Kondisi DAS Ciliwung Kritis, Ahli UGM Serukan Konservasi Menyeluruh
Berdasarkan data IPB pada tahun 2012, antara tahun 1904 hingga 1908 saja, sebanyak 155.000 ekor cenderawasih dikirim ke London dan sekitar 1,2 juta ekor ke Prancis.
WWF Papua juga mencatat bahwa pada dekade 1900-an hingga 1930-an, perdagangan burung ini mencapai 30.000 ekor per tahun.
Pada 1912, satu pengiriman ke Jerman dan Inggris bahkan mencapai 30.000 ekor—hanya untuk kebutuhan fesyen bangsawan Eropa.
“Pada masa itu, burung ini menjadi terkenal karena sering dijadikan hiasan di kepala para perempuan bangsawan di Eropa,” ungkap Ani.
Meski kini berstatus dilindungi, permintaan terhadap cenderawasih kini tetap tinggi. Kurangnya penelitian, lemahnya pengawasan, dan klaim atas warisan budaya menjadi tantangan utama dalam upaya pelestarian.
“Kalau memang untuk ritual adat dan jumlahnya sangat terbatas, itu bisa dimaklumi. Tapi yang tidak bisa diterima adalah ketika cenderawasih ini diperjualbelikan atau dijadikan cenderamata secara massal,” ujarnya.
Sebagai solusi, Ani mendorong pendekatan yang lebih bijak terhadap pelestarian budaya. Ia mencontohkan komunitas di Kalimantan yang mulai beralih ke bulu sintetis untuk menggantikan bulu rangkong dalam upacara adat.
“Itu bisa jadi contoh untuk komunitas lainnya,” tutup Ani.
Baca juga: Meski Tak Instan, Kajian Ilmiah Berdampak Besar untuk Konservasi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya