Untuk membayangkan kengerian lompatan suhu sebesar rata-rata 1,5 derajat Celcius, sangat gampang. Sejumlah kota di Tanah Air pernah didera suhu ekstrem di atas 40 derajat Celcius.
Bagaimana jika suhu yang telah terpanggang itu ditambah 1,5 derajat Celcius karena kegagalan negara di bumi ini menurunkan atau memangkas "sampah karbon" di atmosfer? Sudah tentu panas, sangat panas.
Sekali lagi harus dikatakan perlombaan menahan suhu bumi agar tidak meledak, bukan gagah-gagahan. Ini tugas peradaban manusia karena terkait dengan keberlanjutan dan eksistensi Homo sapiens.
Perjanjian Paris 2015 yang mengikat negara-negara di dunia adalah pertaruhan manusia untuk tidak punah ditelan pemanasan global dan krisis iklim.
Camkan seruan Program Lingkungan PBB, UNEP ini. "No more hot air...please!". Begitu tajuk laporan tahun 2024 mereka.
UNEP mengajak negara-negara di dunia untuk melihat kembali target penurunan emisi GRK mereka. Seambisius apa? Sudahkah itu cukup? Apakah pertimbangan kemampuan ekonomi (baca: pembiayaan) masih mencengkeram negara-negara, khususnya di Selatan (Global South) untuk menjalankan mitigasi dan aksi iklim?
Seberapa besar komitmen negara-negara Utara (Global North) memimpin ikhtiar aksi iklim? Hal itu ditunjukkan dengan realisasi pendanaan yang signifikan atau cuma retorika alias omon-omon?
Menyaksikan kenyataan tahun 2024, menurut UNEP, sekarang, pilihan untuk negara-negara di dunia kian terbatas.
Ada tiga skenario: Membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celcius, berjuang untuk beradaptasi dengan 2 derajat Celcius, atau menghadapi konsekuensi bencana pada 2,6 derajat Celcius dan seterusnya.
Skenario pertama telah kita lampaui dan itu mencemaskan karena bisa membuat negara-negara di bumi kian permisif.
Alih-alih meletakkan seruan UNEP sebagai tiupan sangkakala, mari menegakkan harapan dan kerja sama.
Penuhi target menuju nol emisi di tahun 2050 dengan mengurangi "sampah karbon" di atmosfer secara reguler dan kontinyu. Dalam hitungan UNEP, itu berarti menurunkannya sebesar 42 persen di tahun 2030 dan 57 persen di tahun 2035.
Menurunkan "sampah karbon" di atmosfer dapat dilakukan dengan dekarbonisasi di semua sektor. Ini baru sebagian hal.
Transisi dari energi fosil (bahan bakar minyak, gas dan batu bara) yang kotor ke energi terbarukan (renewable energy) adalah cara alami untuk menghindari penambahan GRK di atmosfer.
Begitu pula mengganti kendaraan konvensional dengan kendaraan listrik (BEV). Atau penghutanan kembali hutan (reboisasi) yang kadung dikonversi jadi lahan sawit termasuk barisan cara alami untuk menghindari peningkatan GRK.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya