JAKARTA, KOMPAS.com - Perubahan iklim tidak hanya mencairkan es di Kutub, tetapi juga menggerus pasokan air tawar di daratan.
Sebuah studi terbaru mengungkap, hilangnya air tawar yang mengalir ke laut kini berkontribusi lebih besar terhadap kenaikan permukaan laut global dibandingkan mencairnya lapisan es di Greenland maupun Antarktika.
Penemuan ini berdasarkan pengamatan satelit NASA melalui misi Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE) dan misi lanjutannya yang berlangsung lebih dari dua dekade sejak 2002.
“Kami menemukan bahwa benua-benua (selain Greenland dan Antarktika) mengalami tingkat pengeringan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Setiap tahunnya, area yang mengering bertambah setara dua kali luas negara bagian California,” kata tim peneliti yang dipimpin Hrishikesh Chandanpurkar dari Universitas FLAME, India, seperti dilansir Science Alert dikutip Senin (18/8/2025).
Para peneliti menilai, manusia telah mengganggu siklus air Bumi dengan emisi gas rumah kaca, alih fungsi lahan, serta pengalihan aliran air.
Kondisi ini membuat wilayah ‘basah’ semakin basah, sementara wilayah ‘kering’ justru mengering lebih cepat.
Akibatnya, sumber air tawar—baik dari danau, sungai, maupun air tanah di akuifer—terus menipis. Saat ini, sekitar 75 persen penduduk dunia tinggal di 101 negara yang pasokan air tawarnya semakin berkurang.
Pergeseran terbesar terjadi di wilayah lintang tinggi seperti Kanada dan Rusia, yang biasanya basah karena es dan permafrost, namun kini mengalami penyusutan cadangan air daratan.
Sementara di kawasan tanpa gletser, seperti Amerika Tengah dan Eropa, penurunan cadangan air daratan mencapai **68 persen**, terutama akibat kekeringan ekstrem dan eksploitasi air tanah.
Emisi bahan bakar fosil yang mengubah pola curah hujan membuat masyarakat makin bergantung pada air tanah. Namun, penggunaan berlebihan memperburuk krisis.
Di sektor pertanian, misalnya, Lembah Tengah California—penghasil 70 persen almond dunia—sangat bergantung pada air tanah untuk irigasi. Hal serupa terjadi pada kawasan sekitar Laut Aral yang mengandalkan air tanah bagi produksi kapas.
“Pengambilan air tanah secara berlebihan menjadi faktor terbesar penurunan penyimpanan air daratan, sekaligus memperparah dampak kenaikan suhu dan kekeringan ekstrem,” jelas para peneliti.
Para ahli menekankan, melindungi pasokan air tanah merupakan kunci di tengah ancaman iklim global. Mereka mendorong adanya kebijakan di tingkat regional, nasional, hingga internasional untuk mengembangkan pengelolaan air tanah yang lebih berkelanjutan.
“Meskipun upaya memperlambat perubahan iklim kerap tersendat, tidak ada alasan mengapa upaya untuk memperlambat laju pengeringan benua harus bernasib sama,” tegas tim peneliti.
Menurut mereka, langkah mitigasi perlu segera disiapkan agar dunia mampu menghadapi masa depan yang lebih kering akibat perubahan iklim dan krisis air tanah.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya