"Banyak nelayan ketika datang melaut itu kebingungan untuk menjual ikan, karena para pengepul yang ada banyak yang sudah penuh ikannya. Kalau tahun lalu sampai ada yang dibuang ikan jaket yang harganya 1 kilo itu Rp47.000. Ada 1 ton lebih kalau enggak salah yang dibuang itu," ucapnya.
Yang mengolah ikan hasil tangkapan bukanlah nelayan Pulau Masalembu sendiri, melainkan pengepul.
Para pengepul menjual hasil tangkapan nelayan ke Kalimantan sebagai produk ikan pindang dan ikan asin. Para pengepul juga mengolah hasil tangkapan ikan nelayan menjadi campuran tepung ikan untuk dijual ke Muncar, Banyuwangi.
Menurut Haerul, hasil tangkapan nelayan Pulau Masalembu sesungguhnya bisa diolah untuk dijadikan kerupuk, amplang, maupun abon, untuk kemudian dipasarkan ke Sumenep dan Surabaya.
Ia berharap pemerintah dapat memberikan pelatihan dan pendampingan kepada nelayan terkait pengolahan hasil laut, pengemasan produk, dan strategi pemasaran
"Negara harus punya peran untuk melatih dan mengembangkan kapasitas nelayan, tidak hanya di sektor penangkapan ikan, tapi setelah melakukan penangkapan ikan. Misalnya di kelompok nelayan perempuan di daerah Demak yang produksi bahan makanan dari bahan dasar ikan, dikemas gitu," ujar Haerul.
Selain itu, pengelolaan potensi sektor kelautan dan perikanan di Pulau Masalembu juga terhambat ketiadaan listrik. Kata dia, nelayan di Pulau Masalembu mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk penerangan.
Ketiadaan listrik berdampak pada nelayan, yang kesulitan mengawetkan hasil tangkapan. Nelayan yang menangkap ikan pada sore atau malam hari terpaksa membeli es batu.
Ketiadaan listrik juga menyebabkan nelayan tidak dapat mengolah ikan hasil tangkapannya dan hanya menjualnya keesokan harinya.
Haerul mengatakan, penggunaan PLTS oleh nelayan di Masalembu sebenarnya atas pertimbangan efisiensi biaya, bukan kesadaran untuk mengurangi dampak krisis iklim yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka.
“Kami enggak pernah berpikir bahwa itu ramah lingkungan dan untuk mengurangi soal krisis iklim,” ucapnya.
Menurut Haerul, kebanyakan nelayan di Masalembu tidak memahami dampak krisis iklim. Namun, nelayan di Masalembu merasakan dampak krisis iklim seperti angin datang dari barat, padahal semestinya masih musim angin timur.
"Musim angin timur tiba-tiba hujan, anginnya dari barat beberapa hari lalu, sehingga luput di luar atau di luar prediksi nelayan pada umumnya ya.
Karena kalau nelayan-nelayan yang terdahulu itu bisa menggunakan alam sebagai tanda, misalkan bintang. (Lalu, nelayan pernah terkejut) harusnya ini musim ikan A, tiba-tiba kok lama, tidak ada," tutur Haerul.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya