Jakarta, Kompas.com - Pulau Masalembu, Sumenep, Jawa Timur selama ini dikenal sebagai "Segitiga Bermuda-nya" Indonesia karena seringnya terjadi tragedi kecelakaan kapal.
Namun di balik itu semua, wilayah ini menyimpan potensi wisata yang cuup besar dan belum tergali.
Saat akhir pekan dan hari libur, hanya Pantai Daeng Marala (DM) dan pantai di ujung barat Pulau Masalembu, yang masih dikunjungi wisawatan lokal.
Di sana, para nelayan menjajakan makanan dan minuman di warung-warung yang hanya memperoleh rezeki berlebih ketika Tahun Baru dan sehari usai Lebaran.
Sebenarnya, Pulau Masalembu mempunyai banyak pantai lainnya. Misalnya, Pantai Sono dan Pantai Masna yang tidak dikelola dengan baik.
Dulu, Pantai Sono pernah menjadi destinasi wisata di Pulau Masalembu yang paling ramai dikunjungi. Namun, setelah pengelolanya pergi meninggalkan Pulau Masalembu, Pantai Sono menjadi tidak terurus.
Selain itu, di pulau ini juga ada Pantai Masna. Jika air laut sedang surut, pasirnya kelihatan, bisa naik motor ke tengah gitu ya.
"Tapi itu tidak bisa dijadikan tempat sebagai pariwisata sama orangnya, karena kebun kelapa disitu. Kalau bicara potensi, sebenarnya Masalembu secara ekonomi sangat bisa dikembangkan, terutama dari sumber daya kelautan dan perikanan," ujar Ketua Kelompok Nelayan Masalembu, Haerul Umam, kepada Kompas.com, Senin (25/8/2025).
Selain menjadi destinasi wisata, pantai-pantai di Pulau Masalembu digunakan untuk parkir perahu-perahu nelayan dan menaruh rumpon.
Kini, pantai dan perairan di sekitar Pulau Masalembu terancam semakin rusak akibat aktivitas kapal yang menggunakan cantrang, potas, dan bom ikan.
Haerul dan para nelayan dari Pulau Masalembu sudah berkali-kali memprotes praktik perikanan tangkap dengan alat yang merusak lingkungan tersebut. Namun, sampai sekarang, masih banyak kapal menangkap ikan di perairan Pulau Masalembu dengan cantrang, potas, dan bom ikan.
"Kapal cantrang dari Brondong juga banyak. Makanya, nelayan (Pulau Masalembu) protes dulu. Dampak dari kerusakan sudah jelas, hasil tangkapan nelayan menurun, sehingga nelayan harus menangkap ikan jauh ke tengah," tutur Haerul.
Nelayan dari Pulau Masalembu menangkap ikan dengan pancing dan payang, yang menggunakan rumpon sebagai tempat berkumpulnya ikan.
Wilayah tangkap nelayan yang menangkap ikan dengan pancing sekitar 9 mil sampai 21 mil dari pantai. Sedangkan wilayah tangkap nelayan yang menangkap ikan dengan payang rumpon bisa mencapai 30 mil dari pantai.
Hasil tangkapan nelayan Pulau Masalembu langsung dijual ke pengepul di darat maupun yang di laut menggunakan kapal. Imbasnya, harga jual ikan sangat berpengaruh terhadap penghasilan nelayan Pulau Masalembu.
"Banyak nelayan ketika datang melaut itu kebingungan untuk menjual ikan, karena para pengepul yang ada banyak yang sudah penuh ikannya. Kalau tahun lalu sampai ada yang dibuang ikan jaket yang harganya 1 kilo itu Rp47.000. Ada 1 ton lebih kalau enggak salah yang dibuang itu," ucapnya.
Yang mengolah ikan hasil tangkapan bukanlah nelayan Pulau Masalembu sendiri, melainkan pengepul.
Para pengepul menjual hasil tangkapan nelayan ke Kalimantan sebagai produk ikan pindang dan ikan asin. Para pengepul juga mengolah hasil tangkapan ikan nelayan menjadi campuran tepung ikan untuk dijual ke Muncar, Banyuwangi.
Menurut Haerul, hasil tangkapan nelayan Pulau Masalembu sesungguhnya bisa diolah untuk dijadikan kerupuk, amplang, maupun abon, untuk kemudian dipasarkan ke Sumenep dan Surabaya.
Ia berharap pemerintah dapat memberikan pelatihan dan pendampingan kepada nelayan terkait pengolahan hasil laut, pengemasan produk, dan strategi pemasaran
"Negara harus punya peran untuk melatih dan mengembangkan kapasitas nelayan, tidak hanya di sektor penangkapan ikan, tapi setelah melakukan penangkapan ikan. Misalnya di kelompok nelayan perempuan di daerah Demak yang produksi bahan makanan dari bahan dasar ikan, dikemas gitu," ujar Haerul.
Selain itu, pengelolaan potensi sektor kelautan dan perikanan di Pulau Masalembu juga terhambat ketiadaan listrik. Kata dia, nelayan di Pulau Masalembu mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk penerangan.
Ketiadaan listrik berdampak pada nelayan, yang kesulitan mengawetkan hasil tangkapan. Nelayan yang menangkap ikan pada sore atau malam hari terpaksa membeli es batu.
Ketiadaan listrik juga menyebabkan nelayan tidak dapat mengolah ikan hasil tangkapannya dan hanya menjualnya keesokan harinya.
Haerul mengatakan, penggunaan PLTS oleh nelayan di Masalembu sebenarnya atas pertimbangan efisiensi biaya, bukan kesadaran untuk mengurangi dampak krisis iklim yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka.
“Kami enggak pernah berpikir bahwa itu ramah lingkungan dan untuk mengurangi soal krisis iklim,” ucapnya.
Menurut Haerul, kebanyakan nelayan di Masalembu tidak memahami dampak krisis iklim. Namun, nelayan di Masalembu merasakan dampak krisis iklim seperti angin datang dari barat, padahal semestinya masih musim angin timur.
"Musim angin timur tiba-tiba hujan, anginnya dari barat beberapa hari lalu, sehingga luput di luar atau di luar prediksi nelayan pada umumnya ya.
Karena kalau nelayan-nelayan yang terdahulu itu bisa menggunakan alam sebagai tanda, misalkan bintang. (Lalu, nelayan pernah terkejut) harusnya ini musim ikan A, tiba-tiba kok lama, tidak ada," tutur Haerul.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya