JAKARTA, KOMPAS.com - Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) mencatat pertumbuhan pesat secara global pada 2024, termasuk di kawasan Asia Tenggara. Namun, Indonesia dinilai masih tertinggal dibanding negara-negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia.
Modul surya yang semakin efisien dengan biaya produksi lebih murah, khususnya dari China, menjadi faktor utama percepatan pemanfaatan energi surya di berbagai negara. Di Asia Tenggara, Vietnam, Thailand, dan Malaysia lebih dahulu mengembangkan PLTS melalui kebijakan feed-in tariff (FiT) sebelum 2020.
Kendati FiT kini sudah dihentikan, kapasitas terpasang PLTS di tiga negara tersebut tetap terus meningkat. Bahkan, kapasitas PLTS atap di masing-masing negara telah menembus lebih dari 1 gigawatt (GW), jauh di atas capaian Indonesia.
Menurut Analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan Institute for Essential Services Reform (IESR), Alvin Putra Sisdwinugraha, perkembangan PLTS di Indonesia cenderung lebih lambat.
"PLTS atap memang tumbuh cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Namun, pendorong utamanya adalah sektor industri dan komersial yang menerapkan standar hijau," ujar Alvin dalam sebuah webinar, Selasa (2/9/2025).
Ia menjelaskan, meskipun Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2024 telah meniadakan insentif net-metering bagi pelanggan rumah tangga, pertumbuhan PLTS atap tidak berhenti. Hal ini menunjukkan minat konsumen terhadap energi bersih semakin kuat.
Sejauh ini, PLTS atap paling banyak terpasang di Jawa dan Bali. Sementara itu, PLTS berskala besar atau utilitas—termasuk PLTS Terapung Cirata—masih menjadi penyumbang terbesar kapasitas terpasang di Indonesia.
Namun, realisasi proyek PLTS skala besar kerap tidak sesuai rencana. Dari target 750 megawatt (MW) pada 2023, hanya sekitar 250 MW yang berhasil tercapai.
"Artinya, capaian tersebut baru sekitar 33 persen dari target dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) PLN," kata Alvin.
Ia menilai, penjadwalan tender yang tidak konsisten dengan RUPTL menjadi salah satu penyebab proyek PLTS skala besar sering tertunda. Kondisi ini, menurutnya, bisa melemahkan minat investor swasta untuk menanamkan modal di Indonesia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya