JAKARTA, KOMPAS.com - Ilmuwan senior CIFOR-ICRAF sekaligus Guru Besar IPB University, Herry Purnomo, mengatakan perkebunan kelapa sawit tidak bisa menggantikan fungsi hutan untuk menyerap karbon dioksida (CO2). Kemampuan sawit dalam menyerap air pun jauh lebih rendah dibandingkan pepohonan di hutan alami.
"Jadi kalau air hujannya merembes ke tanah kalau sawit (filtrasinya) lebih kecil, kalau hutan lebih besar. Kemudian kalau menyerap karbon juga jauh lebih kecil, carbon stocks sawit per hektare cuma 30 ton," kata Herry saat dihubungi, Selasa (9/12/2025).
Sedangkan hutan dapat menyerap 10 kali lipat karbon, atau sekitar 300 ton CO2 ekuivalen per hektarenya. Herry menyatakan bahwa perkebunan sawit memiliki tujuan utama untuk kepentingan ekonomi, bukan fungsi ekologis seperti hutan. Namun, pemilik konsesi justru sering kali membuka hutan untuk menanam sawit.
Baca juga: Banjir Sumatera Jadi Pelajaran, Kalimantan Utara Siapkan Regulasi Cegah Ekspansi Sawit
"Sawit enggak salah, cuma tempatnya saja jangan di tempat yang memang untuk hutan. Kan banyak areal-areal yang untuk kebun ya di situlah," tutur dia.
Sebelumnya, perkebunan sawit disinyalir menjadi biang kerok banjir bandang yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh pada 25-27 November lalu. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bahkan menghentikan sementara operasional empat perusahaan, yang salah satunya perkebunan sawit.
Sementara, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) berencana mengubah kebun sawit kembali menjadi area hutan.
Herry menilai hal itu sah-sah saja dilakukan asal dengan perencanaan yang matang serta pemilihan jenis pohon yang sesuai dengan kondisi lahan. Menurut dia, pergantian kebun sawit menjadi hutan tak serta-merta dilakukan sekaligus.
Baca juga: Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Tahapannya dapat dimulai dari menggantikan pohon sawit yang sudah tua dan tidak produktif. Sedangkan sawit yang masih berproduksi dapat tetap tumbuh hingga masa produktifnya selesai.
"Jadi supaya di bawahnya itu tidak ada konflik ya dilihat, dievaluasi per peta. Kalau (sawit) sudah tua tinggal diganti saja, menanam pohon itu juga tidak gampang jadi mesti dibuat planning mana dulu ditanam," jelas dia.
Waktu pemulihan lahan sangat bergantung pada karakteristik wilayah, termasuk kondisi gambut, mangrove, mineral, maupun kemiringan lahan. Dia memperkirakan masa pemulihan kawasan hutan di Sumatera bisa mencapai 10 hingga 20 tahun.
Selain aspek ekologis, keterlibatan masyarakat menjadi faktor keberhasilan penanaman kembali hutan. Penanaman pohon buah, misalnya, di samping tanaman lain untuk menambah penghasilan masyarakat yang terlibat.
"Jadi masyarakat harus dilibatkan, karena kalau masyarakat enggak dapet penghasilan sulit juga. akan mencari lahan buat kebun lagi, makanya sekarang banyak perhutanan sosial di mana masyarakat dari pepohonan dapat penghasilan," tutur Herry.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya