Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Angka Kelahiran Indonesia: Bayang-Bayang Aborsi dan Merosotnya Kualitas KB

Kompas.com - 22/09/2025, 18:00 WIB
Manda Firmansyah,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR) masih menunjukkan kesenjangan besar antarprovinsi di Indonesia. 

Berdasarkan data Kemendukbangga/BKKBN, TFR tertinggi tercatat di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 2,71, sementara terendah di Jakarta sebesar 1,82.

"Tentu untuk TFR kita, isu-isunya sudah no problem lah kira-kira. Jumlah penduduk, luas wilayah, kita kira-kira TFR-nya 2,1, tertinggi di NTT. Agak lumayan. Tapi rata-rata untuk Indonesia 2,1. Artinya sudah bagus," ujar Menteri Mendukbangga/Kepala BKKBN, Wihaji dalam webinar, Senin (22/9/2025).

Selain Jakarta, angka TFR di bawah 2 juga ditemukan di Jawa Timur, Banten, dan Yogyakarta. Wihaji menegaskan pemerintah akan mengintervensi lewat program KB, khususnya bagi keluarga miskin.

"Karena dalam tanda petik, mereka butuh ini, butuh alat kontrasepsi ini," katanya.

Aborsi di balik angka TFR

Guru Besar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Budi Utomo, mengingatkan agar tidak gegabah menafsirkan turunnya TFR Indonesia ke angka 2,1.

Baca juga: Tergolong Keluarga Miskin, Ini Harapan Petani kepada Pemerintah

"Pencapaian angka TFR (Indonesia) 2,1. TFR dikatakan menurun, tetapi kalau kita lihat soal tren dari capaian maupun kualitas layanan yang menurun, itu kontradiktif," ucapnya.

Budi menduga ada faktor aborsi yang ikut memengaruhi angka tersebut. Berdasarkan studinya pada tahun 2000, rata-rata 1,5 juta aborsi terjadi per tahun di Indonesia, dengan sekitar 1 juta kasus per tahun terjadi di Jawa.

"Jadi jika seandainya total kesuburan itu (TFR) diubah ukurannya menjadi total angka kehamilan, angkanya (TFR) mungkin mendekati sekitar 3 atau 4 ya. Dan kita tahu bahwa sebagian dari kejadian aborsi dilakukan oleh mereka yang sudah menikah ya," tutur Budi.

Turunnya kualitas program KB

Budi juga menyoroti turunnya efektivitas program KB sejak 2000. Padahal, sepanjang 1970–2000, KB berhasil menaikkan prevalensi kontrasepsi dari 10 persen menjadi 60 persen, serta menekan TFR dari 5,6 ke 2,6 dan unmet need hingga 11 persen.

Namun sejak desentralisasi, kualitas program menurun. Fokus terhadap pencegahan kehamilan berisiko tinggi melemah, struktur organisasi di daerah melemah, dan banyak Bina Keluarga Balita (BKB) beralih fungsi.

"Salah satu masalah lain yang mungkin perlu kita perhatikan adalah pembiayaan kontrasepsi dan subsidi terhadap akses, bahkan itu kurang memadai. Kualitas layanan juga menurun, itu terlihat dari pergeseran campuran metode kontrasepsi dari keunggulan jangka panjang ke jangka pendek," jelas Budi.

Baca juga: Bappenas Ingin Kampanye SDGs Jadi Gerakan Nasional seperti Program KB

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau