KOMPAS.com – Setelah satu dekade Perjanjian Paris, Indonesia masih berencana menaikkan produksi energi fosil hingga 2030.
Laporan terbaru Production Gap Report 2025 yang diterbitkan Stockholm Environment Institute (SEI), Climate Analytics, dan International Institute for Sustainable Development (IISD) menyoroti inkonsistensi kebijakan ini.
Produksi energi fosil Indonesia diproyeksikan melonjak 65 persen pada 2030 dibanding tingkat produksi 2023. Padahal, Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan target ambisius 100 persen energi terbarukan pada 2035.
Pemerintah berdalih peningkatan produksi dibutuhkan untuk swasembada energi. Namun langkah ini membuat komitmen iklim Indonesia dipertanyakan.
Di sisi lain, pemerintah juga belum menyerahkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru. Dokumen terakhir diperbarui pada 2022, dengan target menurunkan emisi 32 persen pada 2030 lewat upaya sendiri, atau 43 persen dengan bantuan internasional.
Program and Policy Manager CERAH, Wicaksono Gitawan, mendesak pemerintah segera menyampaikan Second NDC (SNDC) kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Menurutnya, SNDC harus lebih ambisius agar sejalan dengan komitmen energi terbarukan 100 persen.
“Keterlambatan Indonesia untuk memberikan dokumen SNDC terbaru pada Februari lalu berisiko menurunkan kredibilitas di mata global. Kami berharap pemerintah tidak kembali melewati tenggat waktu baru, yakni akhir September, yang diberikan UNFCCC, karena SNDC bukan sekedar dokumen, namun bukti keseriusan pemerintah untuk menurunkan emisi dan mempercepat transisi energi,” ujar Wicaksono.
Baca juga: Akses Listrik di Asia-Pasifik Hampir Merata, tapi Transisi Energi Bersih Terhambat
Inkonsistensi bukan hanya di Indonesia. Laporan yang sama menunjukkan, negara-negara produsen besar dunia juga merencanakan lonjakan produksi fosil hingga 2030, 120 persen lebih tinggi dari jalur 1,5 derajat Celsius.
Produksi agregat batu bara pada 2030 diperkirakan 7 persen lebih tinggi dibanding proyeksi 2023. Sementara gas naik 5 persen. Rencana produksi batu bara, minyak, dan gas dari 20 negara produsen terbesar, termasuk Indonesia, secara kolektif menyumbang sekitar 80 persen energi fosil global.
“Pada 2023, pemerintah dunia mengakui perlunya meninggalkan energi fosil untuk mengurangi krisis iklim, sebuah kewajiban yang kini juga ditekankan Mahkamah Internasional. Namun laporan ini menunjukkan, meski telah menyatakan komitmennya untuk bertransisi ke energi bersih, banyak negara justru merencanakan peningkatan produksi dibandingkan dua tahun lalu,” tutur Direktur Program Kebijakan Iklim di Pusat SEI Amerika Serikat, Derik Broekhoff.
Penghentian ekspansi produksi fosil dinilai penting masuk ke dalam NDC terbaru semua negara, termasuk Indonesia. Direktur Program Transisi Energi yang Adil SEI, Emily Ghosh, meminta pemerintah menyusun kebijakan yang terkoordinasi agar transisi ke energi terbarukan berjalan adil dan cepat.
Ia menekankan pentingnya mengalihkan investasi dari fosil ke energi terbarukan serta menegaskan komitmen pada Konferensi Iklim Ke-30 PBB (COP30).
“Pada COP30, pemerintah harus berkomitmen memperluas energi terbarukan, mengelola permintaan energi, dan melaksanakan transisi yang berpusat pada masyarakat agar kita kembali pada jalur Perjanjian Paris. Tanpa komitmen ini, dan jika kita terus menunda langkah mitigasi, akan berdampak pada meningkatnya emisi dan memperburuk dampak iklim pada kelompok masyarakat yang paling rentan,” ucapnya.
Baca juga: Energi Bersih Diperkirakan Gantikan 75 Persen Kebutuhan Bahan Bakar Fosil
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya