KOMPAS.com - Survei Persepsi Petani 2024 menunjukkan bahwa banyak masyarakat berprofesi sebagai petani di Indonesia tergolong sebagai keluarga miskin. Namun, mereka terus berjuang dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.
Survei yang dilakukan oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), LaporIklim, Tani dan Nelayan Center (TNC) IPB University, dan Gerakan Petani Nusantara (GPN), mengungkapkan sebanyak 85,2 persen petani mengonsumsi pangan yang dihasilkan sendiri atau dari lingkungan sekitar tempat tinggal mereka.
"Kemampuan petani untuk mencukupi kebutuhan pangan harian mereka adalah gambaran kemandirian, sekaligus perjuangan hidup," ujar Kepala TNC, Prof. Hermanu Triwidodo, dalam pernyataannya, Sabtu (19/10/2024).
Baca juga: Petani Swadaya di Labuhanbatu Terapkan Sietem Berkebun Regeneratif
Ia menjelaskan, banyak dari petani di Indonesia yang masuk dalam kategori keluarga miskin. Adapun aspek pangan berkelanjutan menggambarkan daya resiliensi petani dalam memenuhi kebutuhan pangannya.
Oleh karena itu, ada keterbatasan akses terhadap pangan yang lebih beragam. Sebanyak 71,4 persen petani juga mengatakan bahwa saat ini lebih mudah mendapatkan pangan lokal.
"Petani memilih untuk hidup lebih sederhana dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitar tempat tinggal mereka," imbuhnya.
Saat ini, kata dia, tantangan petani di Indonesia semakin pelik dengan dampak perubahan iklim yang dirasakan oleh mereka.
Suhu rata-rata bumi terus meningkat, sehingga merusak kesimbangan cuaca dan iklim. Survei Persepsi Petani 2024 mengungkap bahwa 98,7 persen petani mengakui bahwa saat ini sedang terjadi perubahan iklim.
Baca juga: Integrasi AI ke Sektor Pertanian Diproyeksikan Bisa Bantu Ketahanan Pangan
Tiga kejadian perubahan iklim yang paling banyak mereka alami adalah musim semakin tidak menentu (71,7 persen), kekeringan (70,7 persen), dan suhu panas ekstrem di luar ruangan (58,6 persen).
"Situasi yang terus memburuk berdampak besar terhadap petani," ungkap Hermanu.
Sebanyak 77,6 persen petani mengaku hasil panen mereka turun karena perubahan iklim, kemudian 59,2 persen merasakan hama semakin merajalela, dan 51 persen mengatakan kualitas panen turun. Semua dampak tersebut berpengaruh terhadap kondisi ekonomi yang makin terpuruk.
Melalui survei tersebut, Hermanu dan tim menyampaikan bahwa kebijakan dan program yang dibuat beberapa tahun terakhir, tidak mendorong perbaikan kehidupan petani. Tetapi ibarat senjata yang menekan dan menghunus petani itu sendiri.
"Petani ada pada pilihan sulit. Mau terhunus kebijakan mundur ditusuk ancaman perubahan iklim,” tegas Hermanu.
Meski di tengah himpitan kebijakan yang tidak berpihak pada petani dan perubahan iklim yang semakin parah, Hermanu mengatakan bahwa petani di seluruh Indonesia masih menyimpan harapan untuk masa depan mereka.
Petani di kawasan Indonesia timur, yaitu Maluku, Maluku Utara, dan Papua, mengatakan bahwa sistem tata kelola pertanian perlu lebih modern dan pemerintah lebih berpihak kepada petani lokal.
Baca juga: Budidaya Salak Bali Masuk Dalam Daftar Warisan Pertanian Penting Dunia FAO
Petani di kawasan Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, berharap program regenerasi petani dilakukan secara masif, serta pemerintah harus lebih sering turun ke lapangan agar lebih objektif dalam evaluasi.
Sementara, petani di pulau Jawa hingga kepulauan Nusa Tenggara menitipkan harapan agar harga gabah dinaikkan agar petani lebih sejahtera, kebijakan pertanian yang berpihak kepada petani lokal, serta memperbanyak program-program penguatan pangan lokal.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya