KOMPAS.com - Krisis iklim semakin memperparah kerentanan masyarakat pesisir di kawasan Indonesia bagian timur. Wilayah ini sejak lama sudah berada dalam tekanan bencana ekologis akibat kombinasi abrasi, banjir rob, pencemaran laut, hingga penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing).
Ancaman tersebut bertambah berat dengan maraknya aktivitas pertambangan di Sulawesi dan pulau-pulau kecil. Pertambangan tidak hanya menghilangkan aset ekologi, tetapi juga menurunkan kualitas perikanan tangkap maupun budi daya. Akibatnya, biaya penanggulangan bencana meningkat, dan potensi migrasi masyarakat pesisir kian besar.
Menurut akademisi Universitas Lambung Mangkurat, Baharuddin Sabur, nelayan di kawasan Indonesia timur kini semakin miskin dan terpinggirkan, baik secara ekonomi maupun infrastruktur.
"Anak-anak kita tidak akan ada lagi yang melaut, karena harus melaut jauh, kemudian belum tentu juga mendapatkan ikan. Itu gambaran dampaknya," ujar Baharuddin dalam webinar Ancaman di Kawasan Timur Indonesia; Solusi Adaptasi & Mitigasi Krisis Iklim, Kamis (18/9/2025).
Berdasarkan kajiannya, Baharuddin memprediksi kondisi 10 tahun ke depan jika wilayah ini tidak dikelola secara berkelanjutan.
Pertama, habitat dan sumber daya ikan akan semakin rusak pada 2035. Kedua, alat tangkap destruktif seperti trawl dan cantrang akan semakin marak karena tekanan ekonomi nelayan.
Ketiga, pendapatan nelayan turun drastis, sementara biaya operasional, terutama BBM, melonjak karena harus melaut lebih jauh.
"Kami coba untuk memprediksi bagaimana nantinya, ternyata tahun 2035 ekosistem kita, perikanan kita akan habis dan bisa terbukti nantinya kita harus impor ikan dan itu yang akan terjadi kalau umpamanya kondisi ini terus dibiarkan," tutur Baharuddin.
Keempat, aspek kelembagaan tetap lemah, dengan penegakan hukum yang sulit, koordinasi antar instansi yang minim, serta regulasi yang tidak berjalan. Kelima, konflik antara nelayan dengan sektor lain seperti pertambangan dan pariwisata akan semakin meningkat. Konflik horizontal antar nelayan juga berpotensi meluas.
Baca juga: 29 Izin untuk Budidaya Udang, Usaha Perikanan Terkendala Regulasi
"Nelayan kecil, khususnya yang memiliki alat tangkap di bawah 5 GT (gross tonnage) itu akan sulit untuk bersaing, malah konflik karena adanya kedatangan nelayan-nelayan dari Andon (para nelayan yang menangkap ikan di luar wilayah asal mereka)," ucapnya.
Di sisi lain, terumbu karang di sepanjang wilayah pesisir Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara juga dalam kondisi sangat terancam. Padahal, terumbu karang merupakan habitat penting bagi berbagai jenis ikan.
Untuk meminimalisir kerusakan, terdapat sejumlah strategi yang dapat dilakukan. Pertama, restorasi ekosistem pesisir seperti mangrove, lamun, dan karang.
"Itu harus jelas, bukan hanya sekadar memperbanyak, memperluas kawasan konservasi, kalau tidak ada pengelolaan yang jelas, kemudian tidak ada sanksi yang jelas, pasti itu akan rusak," ujar Baharuddin.
Kedua, integrasi tata ruang darat-laut dengan menyatukan RTRW dan RZWP3K.
"Harapannya ke depan bukan hanya sekadar tertata di dalam konteks peta, tetapi memang betul-betul bahwa tata ruang laut sebagai kawasan konservasi di darat. Di laut juga harus konservasi, jangan sampai di daratnya itu adalah industri, di lautnya konservasi atau sebaliknya," tutur Baharuddin.
Ketiga, penerapan green-gray infrastructure, yakni kombinasi infrastruktur proteksi pantai dengan solusi berbasis alam. Keempat, penguatan kapasitas masyarakat melalui diversifikasi ekonomi, misalnya ekowisata dan budidaya adaptif.
Kelima, pembangunan sistem pemantauan serta early warning system berbasis teknologi spasial dan partisipatif. Keenam, kolaborasi multipihak antara pemerintah, akademisi, NGO, swasta, dan masyarakat lokal.
Baca juga: Ironi Perikanan Indonesia: Produk Buruk, Penduduk Pesisir Stunting
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya