JAKARTA, KOMPAS.com - Transisi dari energi berbahan bakar fosil ke energi baru terbarukan harus merata di seluruh Indonesia, tak terkecuali, di daerah terpencil, tertinggal, dan terdepan (3T).
Chairperson Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Mari Elka Pangestu menyatakan solusi untuk daerah 3T harus bersifat lokal dan perlu disesuaikan dengan potensi sumber energi baru terbarukan.
"Terkait dengan daerah 3T itu, jangan sampai ada yang ketinggalan gitu," ujar Chairperson Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Mari Elka Pangestu dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (6/10/2025).
Ia menilai, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) menjadi sumber energi baru terbarukan yang paling potensial di daerah 3T.
"Kalau Nusa Tenggara Timur (NTT), karena potensinya matahari (maka PLTS). Jadi, sangat-sangat spesifik lokasinya. Bisa juga kalau pulau-pulau terpencil, mungkin sampah ya karena ya kan harus mengolah sampahnya. Jadi, istilahnya, enggak bisa ada one solution," tutur mantan Menteri Perdagangan ini.
Mari menganggap inovasi dan dukungan kerangka kerja perlu menggunakan pendekatan desentralisasi agar subsidi untuk energi baru terbarukan di daerah 3T tepat sasaran.
Untuk pembangunan PLTS di kawasan Indonesia bagian timur, anggota ICEF, Sripeni Inten Cahyani mengatakan, pemerintah daerah (Pemda) harus memastikan ketersediaan infrastruktur pendukung.
Dana desa perlu dialokasikan untuk mendukung proyek-proyek energi baru terbarukan, termasuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) Badan Usaha milik Desa (BUMDes) untuk mengelola proyek tersebut.
"Jangan sampai sudah dihibahkan PLTS-nya, PLTB-nya (pembangkit listrik tenaga bayu) dihibahkan, lalu tidak ada dana anggaran untuk memelihara langsung sampai pasti, maka tidak ada operator yang untuk menjalankan karena capacity building tidak ada. Ini perlu integrated, gitu. Jadi, ini barangkali yang juga harus didorong," ucapnya.
Dalam konteks pilihan energi, gas dianggap kurang ekonomis untuk skala kecil. PLTS menjadi solusi yang lebih realistis, terutama jika dikombinasikan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Kombinasi ini dapat menyediakan listrik 24 jam.
"Jadi kalau perhatikan untuk skala kecil, gas sudah tidak mungkin, karena membawa gas ke sana itu (daerah 3T biayanya) luar biasa besar. Kecuali area-area yang memang sudah ada di sana sumber cadangan gas ya, Tetapi gas itu kan harus ada infrastrukturnya dan pipanya," ujar mantan pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama PLN ini.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya