DI TENGAH banjir informasi tentang krisis iklim, ada ancaman yang lebih licik dan tak kasat mata: hujan mikroplastik.
Bukan hujan air murni yang menyegarkan, melainkan tetesan yang membawa partikel plastik beracun, hasil degradasi sampah tak terkendali.
Fenomena ini bukan fiksi ilmiah; penelitian global dan lokal membuktikan bahwa mikroplastik—partikel plastik kurang dari 5 mm—telah menyusup ke siklus hidrologi, mengubah langit menjadi vektor polusi.
Di Indonesia, negara dengan produksi sampah plastik kedua terbesar di dunia, ini bukan sekadar peringatan, tapi realitas mendesak yang menuntut aksi tegas.
Sampah plastik di Indonesia bukan lagi masalah lokal; ia adalah bom waktu lingkungan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2023 mencatat total timbunan sampah nasional mencapai 31,9 juta ton, dengan sampah plastik menyumbang sekitar 6,8 juta ton per tahun—atau 20 persen dari total sampah.
Lebih parah lagi, studi Jenna R. Jambeck et al. (2015) memperkirakan 3,2 juta ton sampah plastik bocor ke laut setiap tahun, menjadikan Indonesia penyumbang terbesar kedua secara global.
Baca juga: Gaya Koboi Menteri Purbaya: Antara Autentisitas dan Branding Politik
Dari jumlah ini, 35-70 persen tidak terkelola dengan baik, berakhir di sungai, pantai, atau TPA yang buruk, di mana ia terurai menjadi mikroplastik.
Proses degradasinya sederhana tapi destruktif: paparan sinar UV tropis, gelombang laut, dan erosi mekanis memecah plastik besar seperti botol atau kantong menjadi fragmen kecil.
Indonesia yang memiliki iklim lembab dan berangin, degradasi ini berlangsung cepat—plastik yang tahan ratusan tahun pecah dalam hitungan musim.
Kajian WWF Plastic Smart Cities menegaskan bahwa mikroplastik primer (dari kosmetik) dan sekunder (dari degradasi) kini mendominasi, dengan 90 persen berasal dari limbah urban yang tak tersentuh pengelolaan.
Tanpa intervensi, produksi plastik yang diproyeksikan naik 80 persen hingga 2030 akan memperburuk ini, mengubah sampah menjadi ancaman mikroskopis yang meresap ke mana-mana.
Yang lebih mengkhawatirkan, sampah plastik tak berhenti di darat atau laut; ia terbang ke atmosfer.
Angin dan limpasan hujan membawa partikel mikroplastik ke udara, di mana ia menjadi inti kondensasi—titik awal pembentukan tetesan air di awan.
Studi di Teluk Jakarta oleh Anna Ida Sunaryo Purwiyanto (Universitas Sriwijaya, 2021) menemukan emisi mikroplastik atmosferik hingga 3,68 × 109 partikel per hari, dengan curah hujan mempercepat deposisi basah.
Secara global, penelitian di AS memperkirakan 1.000 metrik ton mikroplastik—setara 120 juta botol plastik—turun sebagai "hujan plastik" setiap tahun.
Di Indonesia, fenomena ini terdeteksi di Jakarta, di mana setiap tetes hujan mengandung 500-1.000 mikrometer mikroplastik.
Penelitian IPB University (2022) di wilayah pesisir Jakarta mengonfirmasi deposisi atmosferik, dengan hujan mengurangi konsentrasi udara secara drastis, tapi justru menyebarkannya ke tanah dan air.
Mikroplastik ini tak hanya jatuh; ia mengubah struktur awan, memicu hujan lebih deras dan berkontribusi pada pemanasan global melalui penyerapan radiasi. Fakta pahit: apa yang kita buang hari ini, kembali menghujani kita besok.
Dampak hujan mikroplastik tak pandang bulu; ia mengancam masyarakat secara langsung dan tidak langsung.
Secara lingkungan, partikel ini mengganggu rantai makanan: plankton menelannya, naik ke ikan, dan akhirnya ke piring kita.
Baca juga: Piring, Pikiran, dan Politik Pembangunan
Di Indonesia, konsumsi mikroplastik mencapai 15 gram per orang per bulan—setara tiga kartu kredit—terutama dari makanan laut, mengalahkan AS (2,4 gram).
Kajian Universitas Airlangga menyoroti risiko: gangguan metabolisme, kerusakan hati, ginjal, reproduksi, hingga kanker, plus neurotoksisitas yang memicu lupa dan gangguan kognitif.
Bagi masyarakat, ini berarti beban kesehatan nyata: peradangan kronis dari inhalasi, kontaminasi air minum, dan penurunan produktivitas pertanian akibat tanah tercemar.
Greenpeace Indonesia memperingatkan bahwa 7,86 juta ton sampah plastik tahun 2023 telah mencemari udara, tanah, dan makanan, memperburuk ketidaksetaraan—nelayan pesisir dan petani paling terdampak.
Secara ekonomi, biaya kesehatan dan kerusakan ekosistem bisa mencapai miliaran rupiah, sementara iklim ekstrem yang dipicu mikroplastik memperparah banjir dan kekeringan.
Indonesia tak luput; daerah dengan polusi tinggi dan curah hujan deras paling berisiko. Jakarta menonjol: setiap hujan membawa mikroplastik dari muara sungai seperti Ciliwung, dengan konsentrasi hingga 393 partikel/L.
Yogyakarta juga terdampak serius, di mana penelitian Universitas Ahmad Dahlan (2023) mendeteksi mikroplastik dalam air hujan urban, berasal dari limpasan jalan dan serat sintetis.
Teluk Banten dan Pulau Lima mencatat peningkatan 20-30 persen saat musim hujan. Sungai Krueng Aceh (Aceh) menunjukkan korelasi positif dengan curah hujan (koefisien 0,177).
Daerah lain: Jawa Barat (termasuk Bandung dan waduk Jatiluhur) sebagai pusat akumulasi; Jawa Timur dengan udara terkepung mikroplastik; dan Sumatera Barat seperti Padang, di mana hujan deras (3.000-4.000 mm/tahun) mempercepat deposisi dari sungai seperti Batang Kuranji.
Pesisir timur seperti Makassar dan pesisir barat Sumatra juga rentan, karena angin monsun membawa partikel dari laut.
Baca juga: Beban Ekologis Kota Jakarta
Hujan mikroplastik adalah cermin kegagalan kita: produksi plastik tak terkendali, pengelolaan sampah lemah, dan regulasi lambat.
Pemerintah harus percepat larangan mikroplastik primer di kosmetik seperti Uni Eropa, dan investasikan di daur ulang nasional—targetkan 30 persen sampah plastik didaur ulang pada 2030.
Masyarakat perlu kampanye lokal: kurangi plastik sekali pakai, dan dukung inisiatif komunitas untuk pengelolaan sampah yang lebih baik.
Jika tidak, hujan yang seharusnya memberi kehidupan justru akan meracuni generasi mendatang. Ini bukan mimpi buruk; ini fakta. Saatnya bangun dan bersihkan langit kita.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya