Pendekatan ini bukan anti-ilmu atau anti-teknologi. Justru sebaliknya, ilmu modern dan kearifan lokal perlu disambungkan melalui desain yang berpusat pada perilaku. Sensor dan data iklim memang penting, tetapi tanpa memahami alasan di balik pilihan masyarakat—misalnya mengapa mereka memilih atap daun lonar daripada seng—intervensi teknis bisa menjadi tidak relevan.
Baca juga: 5 Manfaat Buah Lontar, Turunkan Berat Badan dan Melembapkan Kulit
Lantas, apa yang bisa pembuat kebijakan dan mitra pembangunan lakukan?
Sering kali, inovasi dan solusi adaptasi dibawa dari luar tanpa mempertimbangkan kekuatan yang sudah ada di dalam komunitas. Padahal, di Sabu, ‘teknologi’ lokal telah lama hadir dan berfungsi: pohon lontar, rumah beratap daun, kalender panen tradisional, serta norma saling menjaga antarwarga.
Tantangan utamanya bukanlah menemukan hal baru, melainkan bagaimana mengelola dan memperbarui kekayaan lokal tersebut agar tetap relevan di tengah perubahan zaman—di mana iklim semakin ekstrem, pasar semakin selektif, dan ketersediaan air semakin genting
Pada akhirnya, kita kembali pada Alu Re, nyanyian di puncak lontar, sebuah doa yang memanggil ibu Rai Hawu agar meneteskan nira kehidupan. “Mai we rae toe wui, dete wui ma tobo ab’u-ab’a: aku ini seperti anak yatim piatu, wahai ibu, berikan aku air nira" adalah agenda kebijakan yang menunggu diwujudkan.
Bila pembangunan beranjak dari kekuatan Rai Hawu sendiri, Do Hawu tak perlu memilih antara identitas dan masa depan. Keduanya bisa berjalan bersama.
Baca juga: Sasando dan Kisah Budaya Lontar
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya