KOMPAS.com - Survei Deloitte menemukan, meskipun ada penurunan tekanan dari pemegang saham dan meningkatnya resistensi politik, para eksekutif bisnis terus memberikan perhatian yang lebih besar pada inisiatif keberlanjutan.
Survei Deloitte terbaru yang melibatkan lebih dari 2.100 eksekutif tingkat atas mencatat bahwa keberlanjutan dan perubahan iklim termasuk di antara tiga isu bisnis teratas bagi 45 persen responden, di samping adopsi teknologi dan kecerdasan buatan (AI).
Dalam beberapa tahun terakhir, 83 persen eksekutif melaporkan bahwa organisasi mereka meningkatkan investasi dalam keberlanjutan.
Melansir Know ESG, Kamis (20/11/2025), survei juga menemukan solusi teknologi muncul sebagai metode paling umum untuk mencapai tujuan keberlanjutan.
Baca juga: Perusahaan Terbesar Dunia Lanjutkan Target Nol-Bersih Usai Sempat Berhenti
Misalnya saja, perusahaan makin banyak menggabungkan AI dan keberlanjutan, menggunakan perangkat AI untuk meningkatkan efisiensi operasional dan mengurangi emisi karbon.
Sekitar empat dari lima responden melaporkan penggunaan AI dalam inisiatif keberlanjutan, dengan dua pertiganya menargetkan emisi operasional.
Bagi banyak perusahaan, proyek keberlanjutan juga mendukung peningkatan pendapatan, yang diikuti dengan kepatuhan terhadap peraturan dan standar industri.
Lebih lanjut, survei mencatat bahwa risiko terkait iklim memengaruhi operasional bisnis.
Peristiwa cuaca ekstrem, menurut sepertiga perusahaan, mengganggu bisnis mereka, sehingga menjadikan program keberlanjutan sebagai keputusan praktis, alih-alih simbolis.
Amelia DeLuca, Chief Sustainability Officer di Delta Air Lines, menjelaskan bahwa inisiatif terus berlanjut karena masuk akal secara bisnis, yang membantu mereka bertahan lama.
Tekanan dari para pemangku kepentingan termasuk pemegang saham, dewan direksi, pemerintah, pelanggan, dan karyawan juga telah menurun.
Baca juga: Wujudkan Bisnis Berkelanjutan, Perusahaan Asia Tenggara Borong Penghargaan ESG 2025
Pada tahun 2022, sebanyak 71 persen responden merasakan tekanan dari pemegang saham, turun menjadi 58 persen pada tahun 2025. Sejumlah kecil pemangku kepentingan bahkan mulai mendorong lebih sedikit tindakan keberlanjutan.
Kendati investasi keberlanjutan terus berjalan, praktik keberlanjutan tertentu telah melambat.
Dibandingkan dengan tahun 2024, lebih sedikit eksekutif yang melaporkan mengaitkan kompensasi kepemimpinan senior dengan kinerja keberlanjutan, menegakkan standar keberlanjutan pemasok, berinvestasi dalam energi terbarukan, menciptakan produk berkelanjutan, atau mengadopsi teknologi hemat energi.
Namun secara keseluruhan, keberlanjutan terus menjadi yang terdepan dalam agenda perusahaan, didukung oleh aplikasi AI, solusi teknologi, dan risiko terkait iklim. Meskipun beberapa ukuran spesifik menurun, para eksekutif memandang keberlanjutan sebagai bagian dari perencanaan bisnis jangka panjang.
Baca juga: Tantangan Menggeser Paradigma Bisnis Sawit dari Produktivitas ke Keberlanjutan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya