JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi IV DPR RI meyakini banjir bandang di Provinsi Aceh, Sumatera, dan Sumatera Barat, disebabkan kerusakan hutan.
Anggota Komisi IV DPR Endang Setyawati Thohari mengkritik pengaturan hak guna usaha (HGU) dalam Omnibus Law Undang-Undang 11 Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Ia menganggap aturan yang membuka peluang HGU bisa diperpanjang hingga 90 tahun dalam Omnibus Law Cipta Kerja perlu direvisi.
"Kami (dari Komisi IV DPR) akan mensosialisasikan bahwa (bencana) ini akibat dari hutan-hutan yang dibabat habis. Jadi, kami juga akan mendorong supaya tidak ada lagi kalau perlu HGU," ujar Endang di Jakarta, Kamis (4/12/2025).
Baca juga: Konflik Agraria di Balik Banjir Sumatera, Mayoritas Disebut Dipicu Perkebunan Sawit
Menurut Endang, pengelolaan lahan yang mengantongi izin HGU perlu diperbaiki melalui Undang-Undang tentang Kehutanan. "HGU ini sangat menjebak," ucapnya.
Banjir bandang menghancurkan sektor pertanian di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Dalam penanganan pasca bencana, pemerintah menyalurkan kebutuhan sandang, pangan, dan papan terlebih dahulu, sebelum mencatat kerusakan lahan pertanian.
Ia menyesalkan kehancuran lahan perkebunan kopi di Aceh, karena sudah mulai mengekspor ke berbagai negara lainnya.
Kata dia, pemerintah perlu membantu merehabilitasi lahan perkebunan kopi para produsen kecil di Aceh untuk membangkitkan kembali semangat mereka mengelola produk yang sudah terkenal di seluruh dunia itu.
Kementerian Pertanian (Kementan) telah mendistribusikan alat mesin pertanian (alsintan). Ia mengusulkan pengadaan bengkel untuk memperbaiki alsintan yang rusak akibat banjir bandang.
"Jadi, diperlukan tadi alat-alat pertanian yang baru dan yang lama ada bengkel-bengkel, karena jangan sampai itu hilang begitu saja, karena triliunan itu yang diserahkan," tutur Endang.
Di sisi lain, perlu pemetaan ulang daerah surplus dan yang terdampak bencana untuk menjamin distribusi pangan tetap terjaga. Ketersediaan pasokan pangan perlu dihitung kembali untuk memastikan bantuan dari pemerintah yang disalurkan untuk korban banjir bandang di Sumatera tidak membahayakan wilayah pemasoknya.
"Bahaya juga kalau Jawa sampai terkenda dampak (bencana), karena sekarang yang produksinya surplus hanya Jawa, untuk dikirim ke (lokasi) bencana di Sumatera. Nah, ini pemerintah perlu membuat peta yang lebih akurat lagi," ujar Endang.
Komisi IV DPR RI mendorong fleksibilitas anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam upaya membiayai penanganan dampak bencana. Ia menggarisbawahi pentingnya alokasi APBN yang secara khusus untuk situasi darurat, termasuk dalam mengakomodir penanganan bencana dan perbedaan musim tanam berbagai wilayah di Indonesia.
Baca juga: Kerugian Banjir Sumatera Capai Rp 68 T, Celios Desak Moratorium Tambang dan Sawit
Sebaiknya, dalam merencanakan anggaran dan pemetaannya, kata dia, mempertimbangkan pendekatan berbasis zona agroekologi. "Kalau sekarang kan semua distandarisasi (bulan) Desember habis (waktu untuk evaluasi akhir tahun dan persiapan APBN tahun berikutnya)," ucapnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya