Angka tersebut jauh di bawah standar kompetensi pekerja yang ditempatkan secara resmi.
“Kalau mereka tidak punya kapasitas, bagaimana bisa mendapatkan gaji yang layak? Bagaimana bisa bernegosiasi atau melindungi diri mereka sendiri?” kata dia.
Dalam penjelasannya, Veronica menyebut bahwa sebagian besar hambatan administrasi justru terjadi di level domestik, jauh sebelum pekerja migran berinteraksi dengan agensi di negara tujuan.
Hambatan itu meliputi proses pembuatan dokumen, penjadwalan pelatihan yang tidak seragam, hingga mekanisme rujukan ke Lembaga Pelatihan Kerja yang dianggap tidak jelas standar mutunya.
Ia mengatakan bahwa beberapa Balai Latihan Kerja (BLK) juga belum memiliki perspektif gender yang memadai.
Menurutnya, BLK masih berfokus pada pelatihan teknis yang lazimnya ditujukan untuk laki-laki, padahal kebutuhan global terbesar justru berada pada sektor kerja perawatan (care worker) dan caregiver.
“Kita (Indonesia) harus berani mengakui bahwa kapasitas BLK belum sepenuhnya menjawab kebutuhan perempuan. Padahal, perempuan mendominasi sektor pekerja migran, terutama di bidang domestik dan perawatan lansia,” kata Veronica menjelaskan.
Veronica menambahkan, Kementerian PPPA telah mendorong model layanan terpadu yang lebih efisien dan melibatkan kementerian serta lembaga terkait.
Baca juga: Belum Ada Kerja Sama Negara, Kamboja Masih Rentan Bagi Pekerja Migran Indonesia
Salah satu upaya yang tengah didorong adalah layanan satu pintu (one stop solution) bagi calon pekerja migran.
Melalui skema ini, calon pekerja migran akan memperoleh pelatihan, pemeriksaan kesehatan, hingga penempatan langsung yang terukur. Skema tersebut diharapkan dapat mencegah praktik calo yang memanfaatkan celah administrasi.
“Kalau prosesnya rapi, satu alur, terpantau, dan jelas mutunya, maka kita bisa melindungi pekerja migran sejak dari hulu, bukan hanya ketika masalah sudah terjadi di luar negeri,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa skema terpadu bertujuan meningkatkan kualitas dan daya tawar pekerja. Dengan kompetensi yang lebih kuat, pekerja Indonesia dapat memperoleh upah lebih baik di negara tujuan.
Menurut Veronica, sudah saatnya sistem penempatan pekerja migran diperbaiki secara menyeluruh.
Baca juga: Menteri P2MI: Orang Berpikir Pekerja Migran adalah Pembantu Rumah Tangga, Ini Paradigma Lama
Ia menyebut bahwa penempatan tenaga kerja swasta (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia/P3MI) juga harus berbenah, termasuk dalam hal transparansi biaya, penjaminan pelatihan, dan akuntabilitas layanan.
Untuk itu, Kementerian PPPA memperkuat koordinasi lintas kementerian agar perbaikan sistem dapat berjalan secara komprehensif.
“Perlindungan pekerja migran harus dimulai dari hulu. Jika kami membiarkan hambatan-hambatan itu terus ada, maka Indonesia akan terus menghadapi kasus eksploitasi dan perdagangan orang,” imbuhnya.
Ia menegaskan bahwa perlindungan pekerja migran perempuan bukan hanya persoalan administratif, tetapi juga persoalan martabat.
Ia menilai, negara harus hadir secara penuh untuk memastikan perempuan tidak lagi tersandera oleh proses yang panjang, tidak transparan, dan tidak berpihak.
Baca juga: Veronica Tan Ingin Jakarta Ramah Perempuan dan Anak
“Mereka berangkat untuk mencari nafkah, untuk keluarga. Negara punya kewajiban memastikan mereka berangkat dengan aman, terlatih, dan dihargai sebagai manusia yang bermartabat,” ujarnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya