JAKARTA, KOMPAS.com – Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Veronica Tan menyoroti sejumlah hambatan administratif dan lemahnya koordinasi lintas kementerian dalam penanganan serta penempatan pekerja migran Indonesia.
Menurutnya, kondisi tersebut membuat pekerja migran, terutama perempuan, terus terjebak dalam proses panjang, utang besar, dan kerentanan terhadap tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Hal itu dikatakan Veronica dalam forum Terraverse 2025 yang digelar secara hibrida di Jakarta Pusat, Sabtu (6/12/2025).
“Hambatan-hambatan itu membuat para pekerja kita berangkat tidak dengan kondisi yang aman, terlindungi, dan siap. Akibatnya, mereka bisa terjerat utang dan pada akhirnya rentan mengalami eksploitasi, bahkan perdagangan orang,” ujar Veronica.
Untuk diketahui, Terraverse merupakan forum yang mempertemukan kalangan muda untuk membahas kolaborasi ekonomi, teknologi, dan kebijakan strategis bagi Indonesia.
Terraverse sendiri digagas BlackQoral, platform analisis di ranah digital yang menargetkan generasi Z dan milenial dengan fokus pada isu ekonomi, geopolitik, inovasi teknologi, dan dinamika sosial.
Sedikitnya, puluhan anggota Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dari sembilan negara mengikuti Terraverse 2025 secara hibrida.
Veronica menjelaskan, banyak persoalan pekerja migran justru muncul sebelum mereka berangkat ke negara tujuan. Mulai dari proses pendaftaran, pelatihan, hingga koordinasi antarinstansi yang semestinya menjadi satu alur terpadu.
Baca juga: Wamen Veronica Tan Ingatkan Publlik Hati-hati Angkat Isu Anak, Mudah Viral dalam Hitungan Menit
Namun, realitasnya, proses tersebut sering terpecah-pecah, tidak seragam, dan berjalan tanpa kontrol mutu.
Veronica menegaskan bahwa lemahnya koordinasi antarinstansi turut menyebabkan maraknya keberangkatan pekerja migran secara tidak prosedural.
Ia menyebut bahwa berdasarkan laporan berbagai pihak, sebagian besar pekerja domestik Indonesia yang bekerja di Singapura tidak melalui mekanisme resmi.
“(Berdasarkan data) jumlahnya bisa mencapai 70 sampai 80 persen yang berangkat tidak melalui jalur prosedural. Ini tentu sangat mengkhawatirkan,” kata Veronica.
Menurutnya, pekerja yang berangkat tidak resmi tidak hanya kehilangan akses perlindungan negara, tetapi juga tidak mendapatkan pelatihan memadai.
Baca juga: Veronica Tan Soroti RUU PPRT yang Tak Kunjung Rampung: Sudah 20 Tahun, Belum Final
Alhasi, posisi tawar (bargaining power) mereka rendah saat bekerja di luar negeri. Kondisi ini berimbas pada rendahnya upah dan rentannya eksploitasi.
Veronica juga mengatakan bahwa banyak pekerja domestik Indonesia yang tiba di Singapura hanya dibayar sekitar 500 dollar Singapura per bulan karena tidak memiliki sertifikasi atau pelatihan formal.
Angka tersebut jauh di bawah standar kompetensi pekerja yang ditempatkan secara resmi.
“Kalau mereka tidak punya kapasitas, bagaimana bisa mendapatkan gaji yang layak? Bagaimana bisa bernegosiasi atau melindungi diri mereka sendiri?” kata dia.
Dalam penjelasannya, Veronica menyebut bahwa sebagian besar hambatan administrasi justru terjadi di level domestik, jauh sebelum pekerja migran berinteraksi dengan agensi di negara tujuan.
Hambatan itu meliputi proses pembuatan dokumen, penjadwalan pelatihan yang tidak seragam, hingga mekanisme rujukan ke Lembaga Pelatihan Kerja yang dianggap tidak jelas standar mutunya.
Ia mengatakan bahwa beberapa Balai Latihan Kerja (BLK) juga belum memiliki perspektif gender yang memadai.
Menurutnya, BLK masih berfokus pada pelatihan teknis yang lazimnya ditujukan untuk laki-laki, padahal kebutuhan global terbesar justru berada pada sektor kerja perawatan (care worker) dan caregiver.
“Kita (Indonesia) harus berani mengakui bahwa kapasitas BLK belum sepenuhnya menjawab kebutuhan perempuan. Padahal, perempuan mendominasi sektor pekerja migran, terutama di bidang domestik dan perawatan lansia,” kata Veronica menjelaskan.
Veronica menambahkan, Kementerian PPPA telah mendorong model layanan terpadu yang lebih efisien dan melibatkan kementerian serta lembaga terkait.
Baca juga: Belum Ada Kerja Sama Negara, Kamboja Masih Rentan Bagi Pekerja Migran Indonesia
Salah satu upaya yang tengah didorong adalah layanan satu pintu (one stop solution) bagi calon pekerja migran.
Melalui skema ini, calon pekerja migran akan memperoleh pelatihan, pemeriksaan kesehatan, hingga penempatan langsung yang terukur. Skema tersebut diharapkan dapat mencegah praktik calo yang memanfaatkan celah administrasi.
“Kalau prosesnya rapi, satu alur, terpantau, dan jelas mutunya, maka kita bisa melindungi pekerja migran sejak dari hulu, bukan hanya ketika masalah sudah terjadi di luar negeri,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa skema terpadu bertujuan meningkatkan kualitas dan daya tawar pekerja. Dengan kompetensi yang lebih kuat, pekerja Indonesia dapat memperoleh upah lebih baik di negara tujuan.
Menurut Veronica, sudah saatnya sistem penempatan pekerja migran diperbaiki secara menyeluruh.
Baca juga: Menteri P2MI: Orang Berpikir Pekerja Migran adalah Pembantu Rumah Tangga, Ini Paradigma Lama
Ia menyebut bahwa penempatan tenaga kerja swasta (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia/P3MI) juga harus berbenah, termasuk dalam hal transparansi biaya, penjaminan pelatihan, dan akuntabilitas layanan.
Untuk itu, Kementerian PPPA memperkuat koordinasi lintas kementerian agar perbaikan sistem dapat berjalan secara komprehensif.
“Perlindungan pekerja migran harus dimulai dari hulu. Jika kami membiarkan hambatan-hambatan itu terus ada, maka Indonesia akan terus menghadapi kasus eksploitasi dan perdagangan orang,” imbuhnya.
Ia menegaskan bahwa perlindungan pekerja migran perempuan bukan hanya persoalan administratif, tetapi juga persoalan martabat.
Ia menilai, negara harus hadir secara penuh untuk memastikan perempuan tidak lagi tersandera oleh proses yang panjang, tidak transparan, dan tidak berpihak.
Baca juga: Veronica Tan Ingin Jakarta Ramah Perempuan dan Anak
“Mereka berangkat untuk mencari nafkah, untuk keluarga. Negara punya kewajiban memastikan mereka berangkat dengan aman, terlatih, dan dihargai sebagai manusia yang bermartabat,” ujarnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya