KOMPAS.com - Pasar pendanaan berkelanjutan (ESG) di Asia Tenggara disebut mengalami lonjakan pertumbuhan pada kuartal ketiga 2025. Hal itu dinilai memberi sinyal pemulihan kepercayaan pada pendanaan keberlanjutan di wilayah tersebut.
Hasil dari obligasi ESG naik 73,1 persen menjadi 9,1 miliar dollar Amerika Serikat (AS), dari yang sebelumnya hanya 5,3 miliar dollar AS tahun 2024, menurut data LSEG.
Baca juga:
Penerbitan pinjaman ESG juga mengalami peningkatan, tepatnya meningkat 33,3 persen menjadi 14,8 miliar dollar AS dari 11,1 miliar dollar AS pada periode yang sama.
Menurut para analis, lonjakan ini mencerminkan kembalinya penerbit obligasi untuk melanjutkan rencana pendanaan mereka yang sebelumnya ditunda akibat ketidakpastian dan tantangan ekonomi makro yang kompleks.
Dilansir dari Know ESG, Senin (8/12/2025), Sustainability Chief OCBC, Jeong Yoonmee mencatat bahwa para penerbit mengambil pendekatan "wait and see" pada paruh pertama tahun ini, tapi kemudian melanjutkan aktivitas seiring dengan membaiknya kejelasan.
Ia menambahkan, momentum seputar transisi energi di wilayah ini tetap kuat, meskipun ambisi iklim global sedang goyah.
Baca juga: DP World: Rantai Pasok Wajib Berubah untuk Akhiri Krisis Limbah Makanan
Penerbitan obligasi di seluruh dunia turun 3,8 persen menjadi 198,2 miliar dollar AS pada Triwulan III 2025, sedangkan wilayah Asia-Pasifik, kecuali Jepang, mengalami kenaikan moderat sebesar 5,5 persen.
Kepala solusi berkelanjutan ING untuk Asia-Pasifik, Martijn Hoogerwerf mengatakan, fluktuasi dari kuartal ke kuartal merupakan hal yang umum karena jadwal penerbit.
Max Thomas dari HSBC menambahkan, banyak penerbit menunda rencana mereka hingga Triwulan III menyusul volatilitas yang didorong oleh tarif pada Triwulan II.
Pada bulan Oktober, total penerbitan obligasi ESG telah mencapai level tahun 2024, didukung oleh kebutuhan pra-pendanaan penerbit untuk tahun 2026.
Singapura adalah pemimpin yang jelas dalam pendanaan ESG di Asia. Pertumbuhan ini didukung oleh tren yang lebih luas di Asia yaitu kesediaan untuk menerbitkan obligasi ESG menggunakan mata uang lokal, langkah yang penting untuk mematangkan dan menstabilkan pasar tersebut.
Para pengamat memperkirakan lebih banyak aktivitas pada tahun 2026, terutama dari penerbit yang memiliki kerangka kerja pendanaan berkelanjutan yang sudah mapan.
Baca juga: Survei Morgan Stanley: 80 Persen Investor Siap Tambah Alokasi Investasi Berkelanjutan
Ilustrasi obligasi. Minat investor dinilai tetap kuat, terutama di kalangan dana obligasi hijau. Namun, obligasi transisi (transition bonds) masih terbatas.
Hanya satu obligasi semacam itu yang diterbitkan di Asia-Pasifik di luar Jepang, dan tidak ada satu pun di Asia Tenggara.
Lebih lanjut, pasar pinjaman ESG di Asia Pasifik dinilai mengalami pertumbuhan yang dramatis dan melampaui dunia pada kuartal ketiga 2025.
Lonjakan tersebut didorong oleh pemulihan pinjaman lingkungan dan yang lebih penting oleh sektor-sektor baru yang saat ini berpartisipasi secara aktif dalam pembiayaan berkelanjutan.
Shilpa Gulrajani dari DBS menyoroti peningkatan permintaan pembiayaan hijau didorong oleh sektor-sektor seperti digital dan logistik yang mencari solusi energi yang lebih bersih.
Dia menambahkan, pembiayaan transisi ekonomi riil, meliputi peningkatan jaringan listrik, efisiensi energi, dan dekarbonisasi rantai pasok, juga semakin diminati.
Pihak bank memperkirakan, pasar pendanaan berkelanjutaan di Asia Tenggara akan tetap kuat hingga tahun 2026. Sebab, perusahaan-perusahaan menggabungkan keberlanjutan ke dalam rencana jangka panjang mereka dan pemerintah di wilayah ini disebut terus mendukung kebijakan hijau.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya