KOMPAS.com - Pesawat tanpa awak alias drone dinilai bisa menjadi alat non-invasif untuk mengamati populasi gajah dan membantu upaya konservasi jangka panjang.
Sebuah studi yang dipublikasikan di Nature Scientific Reports menunjukkan, gajah dapat beradaptasi dengan sangat cepat terhadap drone dan menunjukkan lebih sedikit tanda-tanda gangguan, baik selama satu kali terbang maupun setelah paparan berulang.
Baca juga:
"Penelitian ini menunjukkan kekuatan teknologi baru yang berkembang pesat yang memungkinkan kita untuk menyelidiki lebih dalam kehidupan rahasia gajah," papar Profesor Fritz Vollrath dari Departemen Biologi Universitas Oxford dan Ketua Save the Elephants, dilansir dari laman University of Oxford, Senin (12/8/2025).
Penggunaan drone dalam konservasi gajah sebagian besar bergantung pada kekuatannya untuk menghalau mamalia darat ini.
Baling-balingnya yang berdengung, yang dapat terdengar seperti kawanan lebah, menjadikannya alat yang berguna untuk mengusir gajah dari lahan pertanian.
Penelitian baru yang diterbitkan oleh Universitas Oxford dan Save the Elephants (STE) menyimpulkan, gajah dapat belajar mengabaikan drone, terutama ketika diterbangkan dengan cara yang dirancang untuk meminimalisasi gangguan.
Berdasarkan penelitian tersebut, menerbangkan drone di ketinggian 120 meter atau lebih dengan pendekatan melawan arah angin, bisa meminimalisasi stres pada gajah dengan hanya perubahan perilaku sementara yang terlihat pada mereka.
Baca juga:
Peneliti menemukan gajah dapat mengabaikan drone. Temuan ini membuka cara baru memantau perilaku dan pergerakan gajah.Temuan ini dapat mengubah cara para ilmuwan dan konservasionis memantau satwa liar.
Sejak tokoh konservasi gajah Iain Douglas-Hamilton memelopori studi ilmiah tentang perilaku gajah liar pada tahun 1960-an, pengamatan terhadap interaksi mereka telah dilakukan dari samping mereka, di dalam kendaraan, atau dalam beberapa kasus di atas platform pengamatan.
Saat ini, drone dapat menawarkan perspektif yang benar-benar baru sebagai alat observasi non-invasif dan hemat biaya, sekaligus membantu para ilmuwan mengumpulkan data tentang pergerakan gajah, interaksi sosial, dan respons terhadap perubahan lingkungan dengan gangguan minimal.
Kamera dan sensor terintegrasi di dalamnya mengumpulkan data dalam jumlah besar, yang dapat digunakan oleh perangkat lunak berbasis AI (Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan) untuk mencari pola-pola yang selama ini luput dari perhatian peneliti manusia.
Misalnya, tim telah mendapatkan petunjuk menarik tentang kebiasaan tidur gajah pada malam hari, dan hampir merilis alat yang dapat secara otomatis menghitung usia dan jenis kelamin setiap individu dalam kelompok yang diamati.
"Teknologi baru memperluas kemampuan kita untuk mengamati, menganalisis, dan memahami dunia liar dengan cara yang sebelumnya tak terpikirkan. Studi ini menjanjikan untuk membuka jendela baru mengenai gajah," tambah CEO Save the Elephants, Frank Pope.
Baca juga:
Para peneliti menekankan, meskipun drone dapat menjadi alat yang ampuh untuk konservasi, penggunaannya di sekitar satwa liar harus selalu dikontrol secara ketat.
Di Kenya, penerbangan drone untuk wisata dan rekreasi dilarang di taman nasional dan cagar alam untuk melindungi hewan dari stres yang tidak perlu.
Drone dalam penelitian ini dioperasikan berdasarkan izin khusus yang dikeluarkan oleh Otoritas Penerbangan Sipil Kenya dan Institut Penelitian dan Pelatihan Satwa Liar.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya