Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Edy Suhardono
Psikiater/Psikolog

Peneliti & Assessor pada IISA Assessment Consultancy & Research Centre

Gelondong Bernomor Di Banjir Sumatera

Kompas.com, 16 Desember 2025, 15:37 WIB

Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

BANJIR bandang di Tapanuli Selatan dan Aceh bukan sekadar air bah yang meluap dari langit. Ia adalah wajah peradaban yang sedang muntah, memuntahkan ribuan batang kayu besar ke pemukiman, menenggelamkan rumah dan mimpi.

Kayu-kayu itu bukan sembarang pohon tumbang. Mereka memiliki tato: barcode kuning, nomor seri merah, kulit yang dikupas rapi. Bagi mata awam, mungkin hanya puing bencana. Namun bagi siapa pun yang mau jujur, mereka adalah mayat bernomor yang sedang bersaksi.

Alam tidak pernah berbohong. Manusialah yang piawai memanipulasi kebenaran. Label SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) yang seharusnya menjadi jaminan kelestarian justru menempel pada batang yang menghancurkan desa.

Jean Baudrillard pernah memperingatkan tentang simulacra—salinan palsu yang menggantikan realitas. SVLK kini menjelma simulakra administratif: di atas kertas kayu itu sah, tetapi di lapangan ia menjadi instrumen kematian.

Investigasi mengungkap keterlibatan nama-nama perusahaan sawit dalam pembukaan lahan. Legalitas dokumen dipakai sebagai anestesi publik: selama ada izin, dianggap aman. Padahal sertifikat tidak bisa menahan tanah jenuh air, tidak bisa membendung energi ribuan ton kayu yang meluncur dari bukit.

Kita sedang mengalami myopia risiko ekologis. Demi efisiensi biaya angkut, nyawa manusia di hilir dipertaruhkan. Disonansi kognitif ini menyakitkan: ekspor kayu legal dibanggakan ke Eropa, sementara rakyat sendiri tenggelam dihantam produk kebanggaan itu. SVLK, yang seharusnya melindungi hutan, berubah menjadi stempel legalisasi praktik yang membunuh ekosistem dan manusia.

Lebih jauh, tragedi ini memperlihatkan paradoks birokrasi: negara sibuk menata dokumen, sementara alam menata kuburan. Kita terjebak dalam ilusi bahwa administrasi mampu menggantikan etika ekologis. Padahal, ketika banjir datang, yang tersisa hanyalah lumpur, trauma, dan label yang kehilangan makna.

Baca juga: Kejagung Ungkap 1 Perusahaan Diproses Pidana terkait Banjir Sumatera

Kayu-kayu gelondongan yang terdampar di pantai Kabupaten Pesisir Barat, Minggu (7/12/2025).DOK. Humas Polda Lampung Kayu-kayu gelondongan yang terdampar di pantai Kabupaten Pesisir Barat, Minggu (7/12/2025).

Forensik industri, bukan alam

Jika berdiri di tepi Aek Garoga, naluri akan berteriak ada yang salah. Kayu-kayu itu seragam: diameter konsisten, panjang presisi, kulit dikupas rapi. Alam tidak bekerja dengan gergaji industri. Keseragaman ini adalah jejak forensik yang membungkam argumen naif tentang longsor alami.

Kayu bernomor itu adalah stok dagangan, inventory yang ditimbun menunggu harga atau cuaca baik. Manajemen penyimpanan dilakukan dengan kelalaian kriminal. Dalam kriminologi, pelaku menggunakan teknik netralisasi psikologis: “pinjam bendera” korporasi untuk mencuci tangan. Tanggung jawab dikaburkan melalui lapisan birokrasi. Ketika bencana terjadi, mereka berlindung di balik istilah force majeure.

Padahal menumpuk kayu industri di zona merah banjir adalah kesengajaan. Hati nurani tumpul, tertutup mekanisme pertahanan diri yang menolak rasa bersalah. Sementara keluarga korban harus mengais sisa hidup di antara batang kayu yang memberi keuntungan segelintir orang. Fenomena ini menunjukkan intensi ekonomi mendahului bencana.

Banjir bukan sekadar curah hujan ekstrem, melainkan hasil akumulasi keputusan bisnis yang mengabaikan ekologi. Gelondong bernomor itu adalah bukti bahwa kapitalisme hutan telah melampaui batas moral: menjadikan sungai sebagai gudang, desa sebagai korban, dan izin sebagai tameng.

Kita menyaksikan bagaimana logistik industri berubah menjadi logistik kematian. Seragamnya batang kayu adalah tanda bahwa alam telah dipaksa tunduk pada kalkulasi pasar. Di titik ini, bencana bukan lagi peristiwa alamiah, melainkan konsekuensi sistemik dari ekonomi ekstraktif yang menolak akuntabilitas.

Lebih ironis lagi, masyarakat lokal yang menjadi korban sering kali dipaksa menerima narasi resmi: bahwa ini hanyalah musibah alam. Padahal mereka tahu, dari bau kayu basah yang seragam, dari luka yang ditinggalkan batang-batang itu, bahwa tragedi ini adalah hasil tangan manusia. Kesaksian warga yang melihat tumpukan kayu di hulu sebelum banjir adalah bukti yang tak bisa dihapus dengan tinta birokrasi.

Baca juga: Aparat Gunakan Pasal Tindak Pidana Lingkungan Hidup-TPPU Usut Kayu Gelondongan di Tapsel

Foto udara kayu gelondongan yang terbawa arus banjir di Desa Geudumbak, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, Aceh, Jumat (5/12/2025). Kayu gelondongan tersebut menumpuk di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Arakundo pasca diterjang banjir bandang pada Rabu (26/11) yang menimpa puluhan rumah warga di desa setempat. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas Foto udara kayu gelondongan yang terbawa arus banjir di Desa Geudumbak, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, Aceh, Jumat (5/12/2025). Kayu gelondongan tersebut menumpuk di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Arakundo pasca diterjang banjir bandang pada Rabu (26/11) yang menimpa puluhan rumah warga di desa setempat.

Transparansi radikal, hukum ecocide

Apakah kita akan membiarkan siklus “banjir-bantuan-lupa” berulang? Emosi harus dikonversi menjadi tuntutan sistemik. Hukum konvensional terbukti gagap menghadapi kejahatan lingkungan yang berlindung di balik izin legal. Kita butuh terobosan melampaui sekadar memenjarakan operator lapangan. Solusi ada pada transparansi tanpa kompromi.

Teknologi blockchain dalam pelacakan kayu, sebagaimana studi Seedtrack (2024), harus diadopsi mutlak. Bayangkan sistem di mana setiap batang pohon memiliki identitas digital kekal, mencatat koordinat tebang dan posisi tumpukan real-time.

Jika satelit mendeteksi tumpukan kayu di zona bahaya, sistem otomatis membekukan izin perusahaan dan memblokir akses pasar. Tidak ada lagi ruang negosiasi di bawah meja.

Lebih jauh, konsep Ecocide harus masuk hukum pidana. Kejahatan yang memusnahkan ekosistem dan membunuh manusia massal harus setara dengan kejahatan kemanusiaan berat. Direksi dan pemegang saham pengendali harus bertanggung jawab pribadi, tidak bisa bersembunyi di balik perseroan terbatas.

Kayu gelondongan di Sumatera adalah cermin retak bangsa. Di sana terpantul wajah keserakahan yang dilegalkan dan ketidakpedulian yang dinormalisasi. Utang pada korban tidak bisa dibayar dengan mie instan atau selimut bantuan, melainkan dengan keadilan substantif.

Jangan biarkan “mayat bernomor” berakhir menjadi kayu bakar tanpa nama. Mereka adalah saksi bisu yang menuntut kita berhenti berbohong, berhenti memanipulasi alam, dan mulai memperlakukan bumi bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai rahim kehidupan. Jika rahim terus disakiti, ia akan mengambil kembali apa yang pernah ia beri.

Lebih dari itu, tragedi ini harus menjadi momentum politik-ekologis. Kita perlu menuntut agar kebijakan kehutanan tidak lagi berhenti pada sertifikasi, melainkan menyentuh akar etika. Pendidikan publik harus diarahkan pada kesadaran bahwa hutan bukan sekadar sumber devisa, melainkan penopang kehidupan.

Media pun harus berhenti menormalisasi narasi “bencana alam” dan mulai menyebutnya “bencana industri”. Dengan demikian, gelondong bernomor itu bukan hanya saksi bisu, melainkan alarm keras bagi bangsa. Alarm yang menuntut kita memilih: terus hidup dalam simulakra legalitas, atau berani menegakkan keadilan ekologis yang nyata.

Baca juga: Belum Ada Tersangka di Penyidikan Kayu Gelondongan dari Banjir Tapsel

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Greenpeace Sebut Banjir Sumatera akibat Deforestasi dan Krisis Iklim
Greenpeace Sebut Banjir Sumatera akibat Deforestasi dan Krisis Iklim
LSM/Figur
Menteri UMKM Minta Bank Tak Persulit Syarat KUR untuk Usaha Mikro
Menteri UMKM Minta Bank Tak Persulit Syarat KUR untuk Usaha Mikro
Pemerintah
Satwa Liar Terjepit Deforestasi, Perburuan, dan Perdagangan Ilegal
Satwa Liar Terjepit Deforestasi, Perburuan, dan Perdagangan Ilegal
LSM/Figur
Menteri UMKM Berencana Putihkan Utang KUR Korban Banjir Sumatera
Menteri UMKM Berencana Putihkan Utang KUR Korban Banjir Sumatera
Pemerintah
Akademisi IPB Sebut Hutan Adat Bisa Tekan Emisi Gas Rumah Kaca dan Krisis Iklim
Akademisi IPB Sebut Hutan Adat Bisa Tekan Emisi Gas Rumah Kaca dan Krisis Iklim
Pemerintah
CIMB Niaga Salurkan 'Green Financing' Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
CIMB Niaga Salurkan "Green Financing" Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
Swasta
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Pemerintah
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
LSM/Figur
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
LSM/Figur
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
Pemerintah
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
LSM/Figur
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
LSM/Figur
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
LSM/Figur
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau