Agus mencatat, upaya tersebut setara dengan penyerapan lebih dari 34.000 ton CO2e.
“Capaian ini tidak hanya berdampak pada penurunan emisi, tetapi juga meningkatkan daya dukung lingkungan, memperbaiki tata air gambut, menurunkan risiko kebakaran hutan dan lahan, serta melindungi wilayah pesisir,” ucap Agus.
Pendekatan FOLU Net Sink 2030 juga disebut menempatkan masyarakat sebagai aktor utama. Dengan FOLU NC-1, lebih dari 400 kelompok masyarakat di 30 provinsi terlibat, menjangkau lebih dari 100.000 warga melalui agroforestri, perhutanan sosial, dan pemulihan ekonomi berbasis hijau.
Dari sisi ekologi, kebijakan ini berkontribusi pada perlindungan keanekaragaman hayati dan pengurangan risiko bencana hidrometeorologi. Selain itu, membuka peluang ekonomi hijau melalui pengembangan hasil hutan bukan kayu, ekowisata, jasa lingkungan, serta penerapan skema Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Sementara itu, pada aspek tata kelola berkontribusi pada penguatan sistem monitoring, reporting, and verification (MRV), pemanfaatan teknologi satelit, serta penegakan hukum kehutanan menjadi kunci peningkatan transparansi dan akuntabilitas.
“Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 adalah strategi pembangunan nasional yang menyatukan kepentingan ekologi, ekonomi, dan sosial. Menjaga hutan berarti menjaga masa depan bangsa,” papar Agus.
Meski tantangan seperti kebutuhan pembiayaan, tekanan alih fungsi lahan, dan kompleksitas koordinasi lintas sektor masih ada, fondasi kebijakan dan capaian awal menunjukkan arah yang tepat.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya