KOMPAS.com - Sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (Forestry and Other Land Use atau FOLU) diproyeksikan menurunkan 60 persen emisi nasional.
Melalui program Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, pemerintah menargetkan sektor kehutanan menjadi penyerap bersih karbon paling lambat tahun 2030, dengan sasaran penurunan emisi bersih sebesar 140 juta ton CO2 ekuivalen (karbon dioksida ekuivalen atau CO2e).
Baca juga:
Project Director FOLU Norway’s Contribution Tahap Kesatu (FOLU NC-1), Agus Justianto, menuturkan, keberhasilan FOLU Net Sink 2030 akan menentukan kredibilitas Indonesia di mata dunia.
“Target 140 juta ton CO2e pada 2030 bukan sekadar angka dalam dokumen kebijakan. Ini adalah fondasi utama pencapaian komitmen iklim Indonesia dalam Nationally Determined Contribution serta peta jalan menuju Net Zero Emission 2060 atau bahkan lebih cepat,” kata Agus dalam keterangannya, dikutip Senin (29/12/2025).
Sektor Forestry and Other Land Use (FOLU) diproyeksikan bisa menurunkan 60 persen emisi nasional atau 140 juta CO2 ekuivalen.Agus menjelaskan, FOLU Net Sink 2030 berakar pada ratifikasi Paris Agreement (Perjanjian Paris) melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, diperkuat Second NDC Indonesia yang disampaikan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada 2025.
Pendekatan ini menandai pergeseran penting dari skema business as usual menuju target emisi lintas sektor yang lebih transparan dan akuntabel.
Menurut Agus, baik gambut maupun mangrove Indonesia menjadi bagian penting sistem penyangga iklim global.
“Hutan tidak lagi dipandang semata sebagai sumber kayu, tetapi sebagai penyerap karbon alami paling efektif, penyedia jasa lingkungan, dan penopang kehidupan jutaan masyarakat,” tutur dia.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah menjalankan strategi, mencakup pengendalian deforestasi, pengurangan degradasi hutan, rehabilitasi hutan dan lahan kritis, restorasi gambut dan mangrove, serta penguatan pengelolaan hutan lestari termasuk di hutan produksi.
Di sisi lain, pengelolaan hutan produksi tetap diarahkan agar memberikan manfaat ekonomi secara berkelanjutan.
“Melalui silvikultur intensif, reduced impact logging, dan diversifikasi usaha kehutanan, hutan tetap produktif tanpa kehilangan fungsi ekologisnya,” ucap Agus.
Baca juga:
Sektor Forestry and Other Land Use (FOLU) diproyeksikan bisa menurunkan 60 persen emisi nasional atau 140 juta CO2 ekuivalen.Sejauh ini, Pemerintah Norwegia mendukung FOLU Net Sink 2030 melalui skema Result Based Contribution (RBC) tahap kesatu yang berlangsung sejak 2022 hingga 2030.
Pada akhir tahun 2025, implementasi FOLU NC-1 mencakup lebih dari 17.000 hektar lahan direhabilitasi dan direstorasi dengan penanaman lebih dari 7,2 juta bibit di ekosistem hutan daratan, gambut, serta mangrove.
Agus mencatat, upaya tersebut setara dengan penyerapan lebih dari 34.000 ton CO2e.
“Capaian ini tidak hanya berdampak pada penurunan emisi, tetapi juga meningkatkan daya dukung lingkungan, memperbaiki tata air gambut, menurunkan risiko kebakaran hutan dan lahan, serta melindungi wilayah pesisir,” ucap Agus.
Pendekatan FOLU Net Sink 2030 juga disebut menempatkan masyarakat sebagai aktor utama. Dengan FOLU NC-1, lebih dari 400 kelompok masyarakat di 30 provinsi terlibat, menjangkau lebih dari 100.000 warga melalui agroforestri, perhutanan sosial, dan pemulihan ekonomi berbasis hijau.
Dari sisi ekologi, kebijakan ini berkontribusi pada perlindungan keanekaragaman hayati dan pengurangan risiko bencana hidrometeorologi. Selain itu, membuka peluang ekonomi hijau melalui pengembangan hasil hutan bukan kayu, ekowisata, jasa lingkungan, serta penerapan skema Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Sementara itu, pada aspek tata kelola berkontribusi pada penguatan sistem monitoring, reporting, and verification (MRV), pemanfaatan teknologi satelit, serta penegakan hukum kehutanan menjadi kunci peningkatan transparansi dan akuntabilitas.
“Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 adalah strategi pembangunan nasional yang menyatukan kepentingan ekologi, ekonomi, dan sosial. Menjaga hutan berarti menjaga masa depan bangsa,” papar Agus.
Meski tantangan seperti kebutuhan pembiayaan, tekanan alih fungsi lahan, dan kompleksitas koordinasi lintas sektor masih ada, fondasi kebijakan dan capaian awal menunjukkan arah yang tepat.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya