KOMPAS.com - Indonesia lebih mengutamakan strategi mitigasi daripada adaptasi dalam menghadapi krisis iklim. Imbasnya, Indonesia kurang memperhatikan inisiatif adaptasi krisis iklim dari perempuan dan kelompok rentan di akar rumput.
Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi menganggap, negara tidak memikirkan anggaran yang responsif dan transformatif untuk pengembangan inisiatif adaptasi krisis iklim itu.
Untuk mengakses pembiayaan adaptasi krisis iklim, kata dia, perempuan harus mengikuti standar-standar akuntabilitas dan menulis berbagai laporan pertanggung jawaban.
Baca juga: Indonesia Perlu Belajar dari India untuk Transisi Energi
"Tidak mungkin itu bisa dilakukan perempuan kalau mengikuti (aturan) yang diperketat. Artinya, memang mereka secara tidak langsung memberikan batasan atau syarat terhadap pembiayaan ini," ujar Armayanti dalam webinar, Sabtu (27/12/2025).
Selain itu, strategi mitigasi krisis iklim di Indonesia masih berorientasi ekstraktivisme atau berorientasi eksploitasi sumber daya alam (SDA). Misalnya, transisi energi dari fosil ke terbarukan melalui proyek-proyek berskala besar untuk memenuhi pasokan listrik nasional.
Ia menuding proyek-proyek transisi energi baru terbarukan (EBT) berskala besar tersebut kerap mengabaikan dampak sosial-ekonomi dan lingkungan, termasuk memperparah ketidakadilan gender.
Dalam setahun terakhir, Solidaritas Perempuan menangani 12 kasus yang erat kaitannya dengan proyek transisi energi.
"Tidak ada manfaatnya kemanfaatan dari transisi energi berskala besar ini, terutama tenaga surya, tenaga air, panas bumi, dan bioenergi," tutur Armayanti.
Di sisi lain, dokumen komitmen iklim Indonesia, Second Nationally Determined Contribution (SNDC) mengintegrasikan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dengan ambisi pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Indonesia memang mengandalkan ekstraktivisme untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, ekstraktivisme justru berpotensi berkontribusi terhadap krisis iklim, alih-alih menyelesaikan permasalahannya.
Menanggapi hal itu, Koordinator Pengembangan Usaha Konservasi Energi Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM, Devi Laksmi mengakui lebih mengutamakan strategi mitigasi ketimbang adaptasi krisis iklim.
Sebagai mitigasi krisis iklim, transisi energi ke EBT menawarkan kesempatan untuk penciptaan lapangan kerja yang harusnya dapat diakses dan dimanfaatkan secara merata.
Di dalam memperkuat inklusi gender pada sektor EBT, kata dia, perlu mengarusutaman gender, penghapusan stigma negatif, serta meningkatkan partisipasi perempuan dalam pelatihan dan pengembangan skill.
Kini, hanya sekitar 5 persen dari seluruh posisi pengambilan keputusna di sektor energi dipegang oleh perempuan. Sektor EBT dan konservasi energi mempunyai lebih banyak porsi dalam mendorong keterlibatan perempuan. Misalnya, dalam bidang efisiensi energi, terdapat 51 dari 1.128 auditor energi perempuan dan 43 dari 1.273 manager energi perempuan di Indonesia.
"Perempuan di Kementerian ESDM, ini sebenarnya kami memandang ke dalam ya, dalam organisasi kami, di sini sudah banyak pimpinan eselon, sudah ada pimpinan di eselon 1, eselon 2," ujar Devi.
Baca juga: Melawan Korupsi Transisi Energi
Kata dia, sudah ada anggaran responsif gender (ARG) yang mengakomodasi keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam mengakses energi. Misalnya, untuk tahun 2023, anggaran ARG untuk kegiatan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) mencapai Rp 51.961.133.000.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya