KOMPAS.com – Ketahanan pangan kerap dibicarakan dalam angka dan kebijakan nasional. Namun di Dusun Babadan, Desa Kepuhrejo, Kecamatan Takeran, Magetan, isu itu hadir dalam bentuk yang jauh lebih nyata, yakni sawah yang tak lagi subur dan panen yang terus gagal.
Di dusun ini, tanah pernah kehilangan daya hidupnya. Sawah yang semestinya menjadi sumber penghidupan justru berulang kali menghadirkan kegagalan.
Ini terjadi bukan karena petaninya enggan bekerja, melainkan karena lahan yang semakin rapuh dan biaya produksi yang kian tak terjangkau.
“Dulu di Babadan ini kami sering gagal panen,” ujar Kepala Dusun Babadan Anton Budi Laksono mengenang masa-masa ketika pertanian tak lagi memberi kepastian.
“Ada dua faktor. Pertama, tanah di sini sudah sakit karena terlalu banyak bahan kimia. Lama-kelamaan jadi kersang, tandus, dan tidak subur. Kedua, kami tidak mampu beli pupuk,” cerita Anton.
Pilihan bagi petani pun kian sempit. Pupuk bersubsidi terbatas, sementara pupuk nonsubsidi terlalu mahal. Dalam kondisi seperti itu, pertanian bukan lagi soal meningkatkan hasil, melainkan sekadar bertahan. Ketika akses pupuk terbatas dan praktik budidaya berkelanjutan belum dipahami, produktivitas pun perlahan tergerus.
Situasi inilah yang membuat Babadan sempat berada di tepi kerentanan pangan. Bagi Anton dan warga, ancaman itu bukan konsep besar, melainkan pengalaman sehari-hari. Hasil panen tak sebanding dengan tenaga, pendapatan tak menentu, dan masa depan terasa rapuh.
Masalah di Babadan tidak berdiri sendiri. Ketergantungan pada pupuk kimia, minimnya pemahaman pengelolaan lahan berkelanjutan, serta keterbatasan akses input produksi menjadi persoalan klasik pertanian desa. Tanpa pelayanan dan pengawalan yang konsisten, petani kerap terjebak dalam pola lama yang justru mempercepat degradasi lahan.
Baca juga: Pupuk Kaltim Raih The Most Trusted Company di CGPI 2025 untuk Ke-8 Kalinya
Di titik inilah kebutuhan akan pelayanan dan pengawalan pertanian menjadi krusial. Bukan sekadar menyalurkan pupuk, melainkan membangun kembali ekosistem pertanian agar lebih tangguh menghadapi perubahan iklim, tekanan ekonomi, dan tuntutan ketahanan pangan jangka panjang.
Perubahan di Babadan mulai terasa ketika hadir pendekatan yang tidak parsial. Melalui Program PKT BISA, Pupuk Kaltim—anak usaha holding Pupuk Indonesia—memperkenalkan inovasi sosial yang mengintegrasikan pertanian, peternakan, dan perikanan.
Berkat PKT Bisa, petani Babadan kini mengalami perubahan gaya hidup dan sistem kerja yang lebih sustainable.Pendekatan itu tidak hanya menyasar produksi, tetapi juga cara pandang petani terhadap lahan dan sumber daya di sekitarnya.
Menurut Anton, permasalahan di Dusun Babadan muncul karena kurangnya pengetahuan tentang praktik pertanian dan peternakan berkelanjutan.
“Melalui program PKT BISA, Pupuk Kaltim hadir dengan inovasi sosial yang mengintegrasikan pertanian, perikanan, dan peternakan sehingga menjadi solusi bagi pemecahan masalah lingkungan, ekonomi, dan sosial di masyarakat Babadan,” ucap Local Hero PKT BISA itu.
PKT BISA dirancang sebagai rantai penghubung yang membentuk kolaborasi antara petani, peternak, hingga pelaku usaha kecil. Pendekatan ini menempatkan petani bukan sekadar sebagai penerima bantuan, melainkan sebagai bagian dari sistem yang saling terhubung.
Baca juga: Konsisten Terapkan ESG, Pupuk Kaltim Sabet Predikat Platinum di ASRRAT 2025
Di Babadan, pola seperti itu mengubah cara warga melihat limbah dan sumber daya. Limbah pertanian yang sebelumnya dibakar kini diolah menjadi silase pakan ternak dan konsentrat fermentasi. Ternak menghasilkan kotoran yang kemudian diproses menjadi kompos. Kompos itu kembali ke lahan yang bertugas menjaga kesuburan tanah dan mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya