KOMPAS.com - Banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mengindikasikan ketidaksesuaian tata kelola perizinan yang tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (D3TLH) di sub daerah aliran sungai (DAS).
Penyusutan D3TLH terjadi seiring dengan penerbitan izin yang didominasi konsesi berbasis komoditas ekstraktif.
Baca juga: Guru Besar IPB Soroti Pembalakan liar di Balik Bencana Banjir Sumatera
Guru Besar Ilmu Teknik Sipil dan Lingkungan, IPB University, Chusnul Arif menyatakan kondisi itu mencerminkan kebijakan pemerintah cenderung kurang berpihak kepada keberlanjutan lingkungan.
Apalagi, lemahnya mekanisme pengawasan, termasuk kurang optimalnya audit ekologis dan verifikasi AMDAL di lapangan, beriringan dengan absennya restorasi ekologis dalam jangka panjang.
Pembangunan ekonomi bercorak kapitalistik yang berbanding terbalik dengan keberlanjutan lingkungan, memang akar masalah dari bencana banjir bandang di Sumatera.
Di sisi lain, terjadi privatisasi ruang publik yang menghilangkan akses publik terhadap tanah dan air. Penguasaan tanah dan air untuk usaha ekstraktif tersebut memperparah kerentanan masyarakat terhadap bencana.
"Menyalahkan alam, siklon tropis Senyar yang (memicu) hujan yang ekstrem, padahal ada kelemahan dari tata kelola yang sifatnya sistemik," ujar Chusnul Arif, dalam webinar, Sabtu (27/12/2025).
Menurut Arif, penanganan pasca bencana di Indonesia masih terkesan 'pemadam kebakaran', yang baru bergerak saat banjir datang ketimbang melakukan berbagai pencegahan. Imbasnya, ketika terjadi banjir, maka tersingkap kegagalan struktural dalam memitigasi bencana.
"Bagaimana pembangunan seringkali mengabaikan topografi, mengabaikan ekosistem lokal, saat sudah terjadi (bencana), baru sekarang ramai-ramai. (Berita-berita) Menhut (Menteri Kehutanan) akan mencabut izin usaha sudah mulai keluar lagi. Ini benar-benar atau cuma lipsync," tutur Arif.
Ia menilai, respon pemerintah terhadap bencana banjir di Sumatera hanya sebatas aksi-reaksi belaka, tanpa adanya upaya memperbaiki kelemahan tata kelola yang sistemik.
Selain itu, penyaluran bantuan masih sering terhambat birokrasi yang terkadang kaku. Koordinasi kementerian/lembaga dalam penanganan pasca bencana masih kurang baik, termasuk antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yang tampak seolah saling "pamer".
Senada, Guru Besar Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU), Muhammad Basyuni mengatakan, kasus korban banjir bandang di Aceh Tamiang yang meninggal dunia di dalam mobil menunjukkan tidak adanya edukasi tanggap bencana.
"Mereka berpikir lari ke atas, ternyata mereka malah meninggalnya di dalam mobil, karena tidak mengerti bahwa di hulunya juga rusak, apalagi di hilirnya," ucapnya.
Tumpukan kayu gelondongan yang terbawa arus banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, menjadi bukti nyata degradasi fungsi hutan. Tumpukan kayu gelondongan kemungkinan dapat terseret banjir akibat erosi yang parah, aktivitas pembalakan liar berskala besar, penebangan kayu secara legal, atau praktik pencucian kayu (wood laundering).
Menurut Basyuni, tumpukan kayu gelondongan sebenarnya indikator awal kerusakan ekosistem yang sistemik dan tak terbantahkan. Bahkan, banyak ditemukan kayu gelondongan dari pohon endemik di Tapanuli, yang menunjukkan adanya rantai pasok ilegal secara terorganisir.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya