Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harga Keekonomian EBT Belum Kompetitif, Perlu Implementasi Nilai Karbon

Kompas.com - 12/06/2023, 08:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha menyampaikan bahwa harga keekonomian energi baru terbarukan (EBT) saat ini belum kompetitif.

Hal tersebut disampaikan Satya dalam segmen Dialog Indonesia Bicara bertajuk Energi Hijau yang ditayangkan oleh TVRI, Jumat (9/6/2023).

Satya mengungkapkan bahwa level permainan antara fosil dan non-fosil belum sama, sebagaimana dilansir dari situs web DEN.

Baca juga: BRIN Teliti Pemanfaatan Limbah Sawit Jadi Sumber Energi Terbarukan

"Kuncinya, semua harus bersatu tentang bagaimana implementasi nilai ekonomi karbon di lintas kementerian," ungkap Satya.

Di sisi lain, risiko stranded asset atau aset terdampar pada pembangkit listrik berbasis batu bara juga menjadi tantangan

Satya menuturkan, strategi yang diambil dalam transisi energi salah satunya adalah dekarbonisasi atau pengurangan emisi karbon di fosil.

"Dalam jangka panjang, energi fosil digantikan oleh energi baru terbarukan, sehingga proses transisi energi tidak menimbulkan krisis," terang Satya.

Baca juga: Investor Singapura Tertarik Kembangkan Sistem Energi Terbarukan di IKN

Transisi energi dilatarbelakangi oleh komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 314 – 446 juta ton karbon dioksida pada 2030 mendatang.

Selain itu menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celsius.

Guna mendorong percepatan transisi energi, Satya juga menambahkan pentingnya melakukan konservasi energi, serta inovasi dan teknologi.

Baca juga: Melimpah Ruah, Indonesia Dianugerahi Potensi Energi Terbarukan 3.500 GW

Sementara itu, Kepala Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cuk Supriyadi Ali Nandar menekankan perlunya kolaborasi riset berbasis kebutuhan industri.

Periset Bahan Bakar Nabati (BBN) BRIN Arie Rahmadi juga menambahkan pentingnya melakukan upaya hemat energi, salah satunya dengan penggunaan transportasi umum.

"Sebab, konsumsi BBM (bahan bakar minyak) terbesar adalah sektor transportasi," kata Arie.

Baca juga: Tak Cuma Musik, K-Popers Juga Peduli Energi Bersih

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com