Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 31/01/2024, 14:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Dimasukkannya rencana pengembangan energi nuklir dalam draf revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang baru menuai kritik.

Dalam draf revisi KEN, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) ditargetkan dapat beroperasi pada 2032.

Diberitakan Kompas.com, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan, tidak ada alasan untuk tidak mengembangkan energi nuklir sebagai bagian dari transisi energi.

Baca juga: Produksi Listrik PLTN Dunia Cetak Rekor Tertinggi Tahun Depan

Dia menyampaikan, ketika semua potensi energi terbarukan sudah dimaksimalkan namun tidak mencukupi kebutuhan energi, maka penetrasi nuklir penting untuk memenuhi permintaan.

Dalam permodelan DEN, energi nuklir ditargetkan bisa berkontribusi sebesar 3 persen dari bauran energi primer pada 2040 untuk skenario tinggi.

Pada 2050 dan 2060, target energi nuklir terhadap bauran energi primer masing-masing 7 persen dan 11 persen untuk skenario tinggi.

Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo mengatakan, PLTN adalah teknologi yang mahal.

Baca juga: Pemerintah Susun Tim Percepatan Pembangunan PLTN, Luhut Jadi Ketua

"Pada dasarnya, teknologi PLTN itu mahal dan akan perlu subsidi serta sumber daya yang tidak sedikit untuk direalisasikan di Indonesia," kata Deon kepada Kompas.com, Jumat (26/1/2024).

Dia menambahkan, teknologi terbaru seperti small modular reactors (SMRs) juga masih dalam tahap pembangunan.

Deon berpendapat, akan lebih baik bila Indonesia fokus terlebih dulu kepada teknologi yang sudah terbukti kompetitif secara keekonomian di dunia yaitu energi terbarukan.

"Ini baru aspek ekonomi yang dari PLTN, belum aspek lainnya yang juga butuh dikelola seperti penerimaan masyarakat yang pastinya butuh proses untuk memberikan pengetahuan dan kesadaran soal teknologi ini ke masyarakat umum," jelas Deon.

Sementara itu, Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law dalam siaran pers bersama mengkritik dimasukkannya PLTN dalam draf revisi KEN terbaru.

Baca juga: Spanyol Berjanji Tutup Semua PLTN pada 2035

"Memasukkan PLTN membawa risiko besar terhadap perlindungan hak asasi manusia berupa risiko toksik serius dan sangat sulit dipulihkan. Hal ini membawa risiko terhadap perlindungan hak hidup maupun hak atas kesehatan," ujar Grita dikutip dari siaran pers bersama, Senin (29/1/2024).

Dilansir dari studi berjudul Apakah Transisi Energi Indonesia Butuh Pembangkit Nuklir yang diterbitkan Yayasan Indonesia Cerah, ada tiga catatan kelayakan soal pengembangan PLTN di Indonesia.

Pertama, Indonesia tidak memiliki bahan bakar nuklir berupa uranium dalam jumlah yang memadai. Cadangan uranium terukur Indonesia hanya mampu memenuhi kebutuhan 1 unit PLTN berkapasitas 1 gigawatt (GW) selama enam hingga tujuh tahun.

Kedua, proyek pembangunan PLTN rentan mangkrak. Tingginya selisih antara harga dasar listrik yang ditetapkan pemerintah dan harga listrik yang dihasilkan membuat PLTN tidak layak dibangun di Indonesia secara finansial.

Ketiga, geografi Indonesia berbahaya bagi operasional PLTN. Indonesia berada di lintasan Cincin Api Pasifik sehingga rawan terjadi gempa dan tsunami karena dilalui oleh jalur pertemuan tiga lempeng tektonik.

Baca juga: 9 Tahun Lagi, Indonesia Pasang Target Operasikan PLTN

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com