Bagi perempuan Sumba seperti Agustina, tenun hanya satu dari banyak tugas yang mereka lakukan dari pagi hingga malam. Mereka bertani, beternak, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Mereka juga menanam jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan dengan risiko gagal panen dan surplus sedikit yang bisa dijual. Mereka menanam kebun-kebun subsistem untuk membantu memberi makan keluarga.
Baca juga: Perempuan di Level Pejabat Pimpinan Tinggi Masih di Bawah 20 Persen
Menghasilkan selembar kain ikat yang bisa dijual dengan keuntungan layak, memerlukan waktu tiga hingga empat minggu seraya merawat anak-anak, memasak, dan mengambil air dari sumur yang jauh.
Para perempuan menenun pada malam hari dengan cahaya yang terbatas di mana listrik jarang tersedia. Tak hanya itu, akses ke pasar pun terbatas, sehingga ruang transaksi bagi mereka juga terbatas. Belum lagi kondisi ketidakpastian pasar yang cukup tinggi.
Kondisi ini bukannya luput dari perhatian sejumlah pemangku kepentinga. Banyak organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk memberdayakan perempuan di wilayah ini, termasuk Yayasan Amnaut Bife (Yabiku), SUNSPIRIT, CIS Timor, Yayasan PIKUL, serta organisasi berbasis gereja.
Namun, semuanya memiliki anggaran terbatas dan tidak sebanding dengan wilayah kerja yang tersebar luas, termasuk Sumba, sehingga sulit bagi mereka untuk mengentaskan kemiskinan yang rumit di wilayah tersebut.
Sementara Pemerintah, belum memiliki program efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan spesifik di provinsi ini.
Baca juga: Pemberdayaan Perempuan Pelaku UMKM Dapat Tekan Kemiskinan
Kendati Pemerintah menerbitkan kebijakan untuk mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem di kabupaten-kapubaten prioritas, namun di Sumba ini menjadi kontroversi karena difokuskan pada pembangunan bendungan dan pengembangan lumbung pangan.
Hanya sedikit regulasi konkret dan program yang ditawarkan oleh pemerintah setempat karena keterbatasan anggaran.
Sampai kebijakan sejalan dengan masalah-masalah di Sumba, masalah migrasi ilegal kemungkinan akan terus berlanjut.
Penulis: Yulia Indrawati Sari, Elisabeth A.S. Dewi, dan A. A. S. Dyah Ayunda N. A, Dosen Universitas Katholik Parahyangan Bandung
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya