Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Nenengisme dan Kegagalan Komunikasi Iklim

Kompas.com, 21 Mei 2025, 15:00 WIB

Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Snezana Swasti Brodjonegoro* dan Ardhana Riswarie**

KOMPAS.com - “Ilmu bukan hanya milik akademisi saja, petani memahami tanah, nelayan membaca bintang dan pelaut menafsir angin, jauh sebelum buku sains tebal ditulis. Jika sains adalah ilmu tentang alam, maka yang hidup paling dekat dengan alam adalah murid terbaiknya.”

Kalimat menohok di atas adalah salah satu unggahan Neneng Rosdiyana di akun Facebook-nya beberapa waktu lalu. Tulisan itu disukai 3.700 akun, dibagikan lebih dari 400 kali dan mendapat ratusan komentar. Warganet menganggap pesan-pesan lingkungan yang disampaikan Neneng begitu ‘kena di hati’ dan dekat dengan kehidupan mereka, sehingga banyak yang ikut menyebarkannya.

Neneng bukan ilmuwan, akademisi, ahli lingkungan, atau konsultan komunikasi. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang juga aktif sebagai anggota Komunitas Wanita Tani (KWT) Mentari di Pesawaran, Lampung. Ia sering membagikan kegiatan bercocok tanam, panen, hingga pemberdayaan ekonomi ibu-ibu di daerahnya via Facebook.

Setelah viral, “Neneng” lantas menjelma menjadi simbol perempuan desa dan petani berdaya yang berjuang untuk keadilan sosial dan lingkungan. Warganet menyebut gerakannya sebagai bentuk revolusi ala ibu-ibu petani, sampai-sampai muncul istilah “Nenengisme”. Kehadiran Neneng sekaligus menjadi kritik bagi para intelek yang sering kali terjebak dalam jargon dan retorika. Ia mengingatkan kembali pertanyaan mendasar: siapa yang sebenarnya kita ajak bicara?

Dari mana Neneng muncul?

Neneng mulai dikenal di media sosial sejak akhir 2023 lalu. Tepatnya pada 23 Desember 2023, ketika fanpage “Marxisme Indonesia” tiba-tiba berubah nama menjadi “Neneng Rosdiyana”. Neneng mengaku iseng saja membeli akun Facebook itu dan menggantinya menjadi namanya sendiri. Tapi ia mengaku tidak tahu banyak tentang Marxisme dan awalnya mengira “Marxis” cocok untuk menjadi nama band.

Fenomena ini menarik perhatian publik karena muncul di tengah ramainya pembahasan soal isu sensitif paham Marxis menjelang Pemilihan Presiden 2024 lalu. Banyak yang kemudian mengait-ngaitkan Neneng dengan ide-ide perjuangan kelas melawan kapitalisme yang dibawa Marxisme. Tapi, Neneng tak pusing dengan berbagai teori dan tuduhan tersebut.

Unggahan Neneng acap viral dan banyak disukai warganet, terutama karena gaya bahasanya yang sederhana tapi mengandung pesan tajam dan menggelitik, bahkan tak jarang ‘menampar’.

Baca juga: BRIN: Perubahan Iklim Picu Peningkatan Sebaran Penyakit Menular

Tak heran, istilah ‘Nenengisme’ semakin menyebar, pengikutnya di Facebook semakin banyak, kini lebih dari 47 ribu akun. Tak hanya terbatas di Facebook, unggahan Neneng kini juga ramai disebar dan menjadi perbincangan di X (dulu Twitter).

‘Nenengisme’ dan gaya komunikasi lingkungan yang membumi

Dari perspektif komunikasi lingkungan, bahasa Neneng sangat menarik untuk dibedah. Kehadiran Neneng menjadi kritik atas kampanye lingkungan di Indonesia yang sering terjebak dalam narasi elitis dengan terminologi rumit seperti “net-zero” atau “carbon offsetting” yang asing bagi masyarakat desa—padahal mereka adalah garda terdepan menghadapi dampak krisis iklim.

Alih-alih menggunakan kosakata umum sehari-hari, para intelek lebih suka memakai ‘bahasa langit’ saat membahas isu-isu publik seperti krisis iklim. Kesenjangan ini menciptakan jurang yang dalam antara bahasa ilmiah dan kenyataan, sehingga membuat pesan tak sampai.

Petani seperti Neneng mungkin tidak mengenal istilah “resiliensi komunitas”, tapi mereka tahu kapan harus pindah lahan ketika tanah sudah tidak lagi subur. Mereka mungkin juga tak paham terminologi ilmiah “strategi adaptasi iklim”, tapi punya cara sendiri untuk bangkit setelah gagal panen akibat musim yang tak menentu lantaran perubahan iklim.

Pesan Neneng juga terkadang mengandung humor yang membuatnya terasa ringan dan mudah diterima, meskipun kadang terkesan sinis. “Lahan terbatas bukan halangan, kami menerapkan metode tumpang sari…” curhat Neneng, sebuah satir yang kontras dengan praktik monokultur ala food estate.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
IPB Latih Relawan dan Akademisi di Aceh Produksi Nasi Steril Siap Makan
IPB Latih Relawan dan Akademisi di Aceh Produksi Nasi Steril Siap Makan
Pemerintah
Bencana Hidrometeorologi Meningkat, Sistem Transportasi dan Logistik Dinilai Perlu Berubah
Bencana Hidrometeorologi Meningkat, Sistem Transportasi dan Logistik Dinilai Perlu Berubah
LSM/Figur
SMBC Indonesia Tanam 1.971 Pohon melalui Program BerDaya untuk Bumi di Garut
SMBC Indonesia Tanam 1.971 Pohon melalui Program BerDaya untuk Bumi di Garut
Swasta
Tempat Penyimpanan Karbon Dioksida Pertama di Dunia Bakal Beroperasi di Denmark
Tempat Penyimpanan Karbon Dioksida Pertama di Dunia Bakal Beroperasi di Denmark
Swasta
Bencana Makin Parah, Kebijakan Energi Indonesia Dinilai Tak Menjawab Krisis Iklim
Bencana Makin Parah, Kebijakan Energi Indonesia Dinilai Tak Menjawab Krisis Iklim
LSM/Figur
Banjir dan Longsor Tapanuli Tengah, WVI Jangkau 5.000 Warga Terdampak
Banjir dan Longsor Tapanuli Tengah, WVI Jangkau 5.000 Warga Terdampak
LSM/Figur
Distribusi Cadangan Beras untuk Banjir Sumatera Belum Optimal, Baru 10.000 Ton Tersalurkan
Distribusi Cadangan Beras untuk Banjir Sumatera Belum Optimal, Baru 10.000 Ton Tersalurkan
LSM/Figur
Menteri LH Ancam Pidanakan Perusahaan yang Terbukti Sebabkan Banjir Sumatera
Menteri LH Ancam Pidanakan Perusahaan yang Terbukti Sebabkan Banjir Sumatera
Pemerintah
KLH Bakal Periksa 100 Unit Usaha Imbas Banjir Sumatera
KLH Bakal Periksa 100 Unit Usaha Imbas Banjir Sumatera
Pemerintah
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
LSM/Figur
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
LSM/Figur
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
LSM/Figur
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Pemerintah
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
LSM/Figur
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau