KETIKA banyak pekerja imigran ilegal (PMI) meninggal saat bekerja di luar negeri, Diana Timoria memutuskan untuk berbuat sesuatu.
Timoria terpacu untuk berbuat demi memperbaiki lingkungan sekitarnya, Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang merupakan salah satu kawasan dengan kemiskinan ekstrem di Indonesia.
Dikutip dari data Badan Perencanan dan Penelitian Pengembangan Pembangunan Daerah (Bapelitbangda), kemiskinan ekstrem di Provinsi NTT saat ini berada pada angka 6,56 persen atau 340.000 warga.
Dengan tingkat kemiskinan sekitar dua kali lipat dari tingkat kemiskinan Nasional, masyarakat hidup dengan penghasilan kurang dari Rp 30.000 per hari.
Provinsi ini merupakan salah satu dari lima provinsi yang memberikan kontribusi terbanyak terhadap pekerja ilegal di Indonesia.
Baca juga: Tanpa Kesetaraan Gender, 340 Juta Perempuan Rawan Miskin
Kondisi ini diperparah dengan banyaknya masyarakat terutama remaja yang terjerat praktik ilegal untuk memalsukan identitas demi memenuhi persyaratan usia bekerja di luar negeri.
Mirisnya, banyak dari mereka yang menjadi korban kejahatan karena tidak memiliki dokumen resmi untuk bekerja.
Menurut Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), hingga Agustus 2023, ada sekitar 100 buruh migran asal NTT yang meninggal tahun ini, mayoritas bekerja di Malaysia. Sebagian besar dari mereka meninggal karena sakit dan intensitas kerja yang tinggi.
Namun demikian, sejatinya Pulau Sumba memiliki potensi besar, yakni kerajinan tekstil ikat yang rumit lagi unik, dan indah. Selembar kain ikat bisa bernilai antara Rp 2 juta-Rp 4 juta.
Di balik potensi ini, Pulau Sumba dihadapkan pada tantangan untuk menarik pembeli.
Timoria pun memulai komunitas penenun muda bernama Komunitas Kandunu, yang memproduksi kain ikat untuk memberdayakan perempuan serta meningkatkan kesadaran tentang risiko migrasi ilegal.
Baca juga: Perempuan Berperan Penting untuk Gerakkan Ekonomi
Kelompok ini terdiri dari perempuan muda dan pria muda serta lansia yang berbagi pengetahuan, keterampilan, dan sejarah tenun. Mereka juga menyebarkan informasi tentang risiko dan penipuan yang terkait dengan migrasi ilegal.
Namun, memberdayakan perempuan di wilayah tersebut untuk keluar dari kemiskinan memerlukan upaya ekstra, lebih dari sekadar pendapatan dari tenun.
Bagi Agustina Ronga Padak (50 tahun), tenun adalah mata pencarian yang juga sekaligus bentuk aktualisasi secara sosial dan budaya.
Akan tetapi, aktualisasi dirinya di rumah sederhana yang ditempati bersama enam anaknya, mengalami hambatan. Sehingga dia kesulitan melanjutkan hasratnya karena tenun tidak menguntungkan.
Bagi perempuan Sumba seperti Agustina, tenun hanya satu dari banyak tugas yang mereka lakukan dari pagi hingga malam. Mereka bertani, beternak, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Mereka juga menanam jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan dengan risiko gagal panen dan surplus sedikit yang bisa dijual. Mereka menanam kebun-kebun subsistem untuk membantu memberi makan keluarga.
Baca juga: Perempuan di Level Pejabat Pimpinan Tinggi Masih di Bawah 20 Persen
Menghasilkan selembar kain ikat yang bisa dijual dengan keuntungan layak, memerlukan waktu tiga hingga empat minggu seraya merawat anak-anak, memasak, dan mengambil air dari sumur yang jauh.
Para perempuan menenun pada malam hari dengan cahaya yang terbatas di mana listrik jarang tersedia. Tak hanya itu, akses ke pasar pun terbatas, sehingga ruang transaksi bagi mereka juga terbatas. Belum lagi kondisi ketidakpastian pasar yang cukup tinggi.
Kondisi ini bukannya luput dari perhatian sejumlah pemangku kepentinga. Banyak organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk memberdayakan perempuan di wilayah ini, termasuk Yayasan Amnaut Bife (Yabiku), SUNSPIRIT, CIS Timor, Yayasan PIKUL, serta organisasi berbasis gereja.
Namun, semuanya memiliki anggaran terbatas dan tidak sebanding dengan wilayah kerja yang tersebar luas, termasuk Sumba, sehingga sulit bagi mereka untuk mengentaskan kemiskinan yang rumit di wilayah tersebut.
Sementara Pemerintah, belum memiliki program efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan spesifik di provinsi ini.
Baca juga: Pemberdayaan Perempuan Pelaku UMKM Dapat Tekan Kemiskinan
Kendati Pemerintah menerbitkan kebijakan untuk mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem di kabupaten-kapubaten prioritas, namun di Sumba ini menjadi kontroversi karena difokuskan pada pembangunan bendungan dan pengembangan lumbung pangan.
Hanya sedikit regulasi konkret dan program yang ditawarkan oleh pemerintah setempat karena keterbatasan anggaran.
Sampai kebijakan sejalan dengan masalah-masalah di Sumba, masalah migrasi ilegal kemungkinan akan terus berlanjut.
Penulis: Yulia Indrawati Sari, Elisabeth A.S. Dewi, dan A. A. S. Dyah Ayunda N. A, Dosen Universitas Katholik Parahyangan Bandung
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya