KOMPAS.com - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum lebih memahami perlindungan hukum untuk perempuan korban kekerasan.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin di Jakarta, Jumat (24/11/2023).
Dia juga mendorong para perempuan yang menjadi korban kekerasan untuk berani melapor kepada aparat penegak hukum, sebagaimana dilansir Antara.
Baca juga: Perempuan Penyintas Kekerasan Perlu Diberdayakan
Dia menjelaskan, Indonesia telah memiliki berbagai kebijakan yang melindungi perempuan, salah satunya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Selain itu ada UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU Nomor 12 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), serta aturan hukum lainnya.
Namun menurutnya, hingga saat ini korban, khususnya para perempuan masih belum mendapatkan hak-haknya karena belum maksimalnya pelaksanaan berbagai peraturan tersebut.
Berdasarkan catatan tahunan (catahu) Komnas Perempuan dari 2001 hingga 2021, terjadi peningkatan pelaporan KDRT saat UU PKDRT disahkan pada 2004.
Hal ini menandakan bahwa semakin banyak korban yang mengetahui ada pelindungan hukum terhadap kasus kekerasan dan berani melapor.
Akan tetapi, lanjut Mariana, masih ditemui tantangan pelaksanaan penegakan hukum, di mana banyak korban justru dikriminalisasi.
"Selama 21 tahun catahu, tercatat lebih dari 2,5 juta kekerasan berbasis gender di ranah personal dilaporkan, di mana kekerasan terhadap istri paling banyak dilaporkan, yakni sebanyak 484.993 kasus," kata Mariana.
Ia juga menyampaikan, apabila dalam pelaksanaan UU PDKRT masih banyak ditemui hambatan dan tantangan, maka pelaksanaan UU TPKS yang baru saja disahkan tahun lalu mesti dikawal bersama, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Baca juga: Edukasi Pencegahan Kekerasan Seksual Harus Libatkan Laki-laki
Sehingga implementasinya benar-benar bisa dirasakan oleh masyarakat, utamanya dalam rangka penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Sementara itu, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan Veryanti Sitohang menyampaikan, belum semua pemerintah daerah memahami tugas-tugas untuk melindungi masyarakatnya dari kekerasan terhadap perempuan.
"Ketika kami melakukan kunjungan ke daerah-daerah, belum semua pemerintah daerah memahami tugasnya sebagaimana diamanatkan dalam UU TPKS, bahkan termasuk di dalam UU PKDRT," ujar Veryanti.
Padahal, salah satu tugas dari pemerintah daerah salah satunya adalah menyediakan rumah aman yang bisa difasilitasi melalui unit pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan anak.
Baca juga: Perjuangan Putus Rantai Kekerasan Anak di Kabupaten Sambas
Akan tetapi, kenyataannya belum semua pemerintah daerah memilikinya.
"Karena itu, pendampingan kepada korban menjadi sangat terbatas, ini yang kemudian membuat korban ragu-ragu untuk melaporkan kasusnya, padahal ketika melapor itu termasuk langkah mewujudkan pemenuhan hak korban atas perlindungan, pemulihan, dan juga penanganan," tuturnya.
Ia menegaskan, momentum 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) ini menjadi ruang untuk bergerak bersama dalam mendorong pemerintah, DPR RI, dan aparat penegak hukum untuk bersungguh-sungguh mengimplementasikan UU TPKS demi penghapusan kekerasan seksual dan memberi perlindungan kepada korban.
Baca juga: Aparat Penegak Hukum Harus Ramah saat Tangani Korban Kekerasan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya