KOMPAS.com – Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Benny Mamoto mendorong pihak kepolisian merespons aduan masyarakat secara cepat dan responsif.
Dalam menangani aduan dan keluhan dari masyarakat, penting bagi aparat penegak hukum untuk memperhatikan dua faktor.
Kedua faktor tersebut yakni menjalin komunikasi yang baik dan transparan dalam memberikan informasi terhadap masyarakat yang melaporkan aduan.
Baca juga: Kekerasan terhadap Perempuan Bak Gunung Es, Laporan Naik 2 Kali Lipat pada 2022
“Dalam menangani aduan masyarakat, khususnya kasus kekerasan seksual, aparat penegak hukum butuh memperhatikan perspektif korban dan keluarga yang perasaannya juga sangat sensitif,” papar Benny dalam Rapat Koordinasi antar Lembaga dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, Kamis (3/8/2023).
Dia menambahkan, aparat penegak hukum harus sabar, ramah, menggunakan bahasa yang tepat dan berempati terhadap korban dalam menangani kasus kekerasan perempuan dan anak.
“Oleh karenanya, SDM (sumber daya manusia) yang berperspektif gender dan anak menjadi penting, terlebih saat ini Direktorat PPA dan TPPO juga sedang dipersiapkan,” tutur Benny dikutip dari siaran pers dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Aparat penegak hukum, mulai dari penyidik hingga jaksa, juga didorong menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai lex specialis dalam proses penuntutan terhadap kasus kekerasan dan memiliki perspektif korban.
Baca juga: Penyintas Kekerasan Seksual Harus Dapat Pendampingan dan Perlindungan
Hal tersebut disampaikan Jaksa Ahli Madya Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI Robert Sitinjak.
Robert menuturkan, UU TPKS merupakan undang-undang yang bersifat lex specialis dan mengesampingkan peraturan yang lebih umum.
“Sehingga dalam proses penuntutannya, aparat penegak hukum perlu mengedepankan peraturan tersebut,” kata Robert.
Robert menyampaikan, UU TPKS juga fleksibel terhadap jenis-jenis kekerasan di masa mendatang karena sifatnya yang khusus.
Baca juga: 4,4 Juta PMI Bekerja Tidak Resmi, Rawan Jadi Korban Kekerasan
“Jadi nanti jika ada jenis kekerasan baru yang belum ada saat ini maka undang-undang ini bisa mengakomodasi,” ujar Robert.
Sementara itu, Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Barat Nirwana menyampaikan, UU TPKS sangat mengakomodasi kebutuhan korban kekerasan dalam mengakses keadilan.
Akses tersebut mulai dari kewajiban restitusi bagi pelaku terhadap korban, mengedepankan keadilan di muka hukum, tidak menyelesaikan penyelesaian perkara di luar hukum yang kerap merugikan korban, hingga memanfaatkan peran saksi ahli untuk memvalidasi pengalaman korban yang kerap mengalami tindak kekerasan di ruang tertutup dan minim saksi.
Nirwana berharap aparat penegak hukum, terutama penyidik, benar-benar memanfaatkan implementasi UU TPKS.
Yakni dengan memberikan edukasi terhadap hak-hak apa saja yang didapat oleh korban dan menggunakan perspektif korban selama mengawal kasus tersebut.
Baca juga: Pemerintah Tawarkan Konsep Pesantren Ramah Anak Bebas Kekerasan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya