KOMPAS.com – Dokter anak sekaligus pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Frida Soesanti, mengungkapkan, polusi udara dapat meningkatkan risiko stunting pada anak.
Hal tersebut disampaikan Frida dalam sesi panel diskusi “Forum Menuju Indonesia Emas 2045: Dampak Kualitas Udara terhadap Masalah Stunting Manusia Indonesia,” di Jakarta, Jumat (24/11/2023).
Bahaya polusi udara bahkan bisa dimulai sejak bayi dalam kandungan. Bila ibu terlalu banyak terpapar polusi udara, dapat berakibat buruk pada bayi yang dikandungnya.
Baca juga: Tanoto Ajak Media Bantu Tuntaskan Masalah Stunting di NTT
“Semakin tinggi paparan polusi, semakin rendah berat badan lahir dan semakin pendek panjang badan lahir bayi, maka bayi berisiko untuk terkena stunting,” kata Frida, sebagaimana dilansir dari Tribunnews.com.
“Bukannya kita jadi generasi emas, malah generasi cemas, we have to do something (kita harus melakukan sesuatu),” tuturnya.
Frida menuturkan, polusi udara, terutama particulate matter 2,5 (PM2,5) dapat membuat risiko peningkatan tekanan darah pada bayi semakin tinggi.
Kabar buruk lainnya, Frida menyampaikan komposisi PM2,5 tahun 2023 melonjak 12,5 kali lebih banyak dibandingkan beberapa tahun ke belakang yang sudah naik sebanyak delapan kali.
Baca juga: Angka Stunting di NTT Turun Signifikan dalam 5 Tahun Terakhir
Sementara itu, Ketua Komite Penanggulangan Penyakit Respirasi dan Dampak Polusi Udara (KP2RDPU) Kementerian Kesehatan Agus Dwi Susanto menjelaskan, ibu hamil dan anak termasuk kelompok yang sensitif terhadap polusi udara.
Ibu hamil sudah mengalami perubahan fisik dan menjadi faktor penyebab stres bagi tubuhnya. Bila terpapar polusi udara dalam jumlah tinggi, ibu hamil berisiko mengalami komplikasi kehamilan.
Komplikasi kehamilan tersebut seperti preeklamsia atau keracunan kehamilan dan inflamasi intrauterin atau peradangan dalam rahim.
Bagi anak-anak, polusi udara dapat menimbulkan risiko yang serius karena saluran pernapasan mereka masih kecil dan masih berkembang.
Baca juga: Penyerapan Dana Menu Stunting di NTT Baru 38 Persen
“Frekuensi napas yang lebih cepat menghirup lebih banyak udara relatif terhadap tubuhnya dibanding dewasa. Sistem kekebalan tubuh masih belum matang lebih rentan terhadap infeksi saluran pernapasan,” tutur Agus.
Co-Founder Bicara Udara Novita Natalia mengatakan, diskusi tersebut menyoroti pentingnya sinergitas untuk membuat sebuah kebijakan penanganan polusi udara.
“Polusi udara memiliki dampak negatif pada manusia khususnya tumbuh kembang janin di dalam kandungan, yang berpotensi menyebabkan stunting terhadap anak,” ungkap Novita.
Sumber: Tribunnews.com (Penulis: Rina Ayu Panca Rini | Editor: Acos Acos)
Baca juga: Percepat Penurunan Stunting di NTT, Warga Kampung KB Diberdayakan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya