KOMPAS.com - Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh telah melayani sebanyak 1.028.216 penumpang selama dua bulan beroperasi komersial yakni 17 Oktober-25 Desember 2023.
Menyentuh angka yang cukup tinggi, moda transportasi baru tersebut dianggap memenuhi kebutuhan masyarakat akan konektivitas antar wilayah yang cepat, aman, dan nyaman.
Tak hanya dari sosial, jika diamati dari segi lingkungan, penggunaan Whoosh juga berdampak positif karena menghasilkan jejak karbon yang lebih rendah dibandingkan transportasi pribadi.
"Menurut berbagai literatur terkini, penggunaan kereta cepat saat ini menghasilkan sekitar 0,06 gram CO2 per kilometer per passenger, jauh lebih rendah dibandingkan dengan kendaraan pribadi seperti mobil yang mencatat sekitar 0,15 gram CO2 per kilometer per penumpang," ujar Sustainable Mobility Analyst dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Rahmi Puspita Sari, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (5/1/2024).
Baca juga: Pembangunan Rendah Karbon Bisa Ciptakan 15,3 Juta Pekerjaan Hijau
Jika diasumsikan bahwa seluruh penumpang yang beralih naik kereta cepat sebelumnya menggunakan 100 persen mobil untuk perjalanan mereka, maka dampaknya cukup besar.
"(Dengan asumsi tadi) maka 1 juta penumpang yang menggunakan kereta cepat mempunyai dampak yang signifikan, sekitar 13 ton, terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK)," imbuhnya.
Hal senada, salah satu komunitas diskusi transportasi di Indonesia dan dunia, Transportologi, mengungkap penggunaan transportasi umum dapat mengurangi emisi karbon dibandingkan kendaraan pribadi, meski belum sepenuhnya hijau.
"Apabila semakin banyak orang menggunakan angkutan umum, diharapkan emisi karbon sektor transportasi bisa turun lebih signifikan. Penggunaan kereta cepat, seperti Whoosh, punya fungsi strategis ini kendati saat ini masih terbatas Jakarta-Bandung," ujar Partnership and Communication Manager Transportologi Sukma Larastiti.
Namun, kata Rahmi, selain gambaran di atas, ada fenomena induced demand yang perlu dipertimbangkan.
Induced demand adalah sebagian kecil dari penumpang saat ini bukanlah orang yang beralih dari mobil ke kereta, melainkan mereka yang melakukan perjalanan baru karena ada keberadaan kereta cepat.
"Biasanya angkanya sedikit dan manfaat penurunan GRK dari pembangunan kereta cepat masih overweight emisi baru karena induced demand tersebut," tuturnya.
Baca juga:
Terlepas penumpang kereta cepat adalah pengguna mobil atau bukan, Rahmi menilai sejauh ini kendaraan berbasis rel masih memiliki performa terbaik di bidang emisi.
"Mungkin hanya kalah dengan berjalan kaki dan sepeda," ujarnya.
Sementara itu, dari segi emisi akibat Land-use, Land-use Change and Forestry (LULUCF), car oriented city menyebabkan urban sprawl dan pembukaan lahan yang sangat luas.
"Ini (LULUCF) bisa dihindari kalau kita mempunyai kendaraan umum berbasis rel," tegas Rahmi.
Kemudian dari segi polusi udara, Rahmi menjelaskan, kereta cepat berbasis listrik tidak menimbulkan emisi pada titik sumber kegiatan, sehingga tidak terekspos terhadap banyak orang.
Tidak hanya terbatas Jakarta-Bandung, jalur kereta cepat Whoosh direncanakan bakal diperpanjang hingga Surabaya dan daerah Jawa lainnya.
Jika melihat dari segi emisi karbon yang dihasilkan, kembali pada alasan sebelumnya, Rahmi menilai Whoosh akan berdampak sangat positif.
Sebab, itu artinya penumpang pesawat dengan tujuan menjangkau kota berjarak jauh dengan waktu singkat, dapat beralih menggunakan kereta cepat.
"Pure dari sisi efek ke GRK, kalau jalurnya diperpanjang, justru bisa meningkatkan manfaat karbon. Karena targetnya sudah bukan pengguna mobil, namun pengguna pesawat," ujar Rahmi.
Pesawat adalah salah satu moda transportasi yang memiliki jejak karbon tertinggi dan berada di posisi terbawah dalam hierarki mobilitas berkelanjutan. Ditambah lagi upaya mendekarbonisasi pesawat hingga saat ini masih menjadi tantangan yang besar.
Baca juga: Langkah Praktis Mengurangi Jejak Karbon dalam Perjalanan
Dalam konteks tadi, Rahmi menyampaikan, sebaiknya jalur kereta cepat diperpanjang selama masih layak secara ekonomi dan finansial.
Layak secara ekonomi mengacu bahwa suatu proyek atau usaha bisnis mampu menghasilkan pendapatan yang cukup, untuk menutupi biayanya dan memberikan pengembalian investasi yang wajar.
"Konstruksi kereta cepat memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang besar, ditambah untuk mencapai ridership yang tinggi juga merupakan proses yang memakan waktu, sehingga apabila pembangunan dimulai saat ini, manfaatnya baru kita rasakan bertahun-tahun kemudian," tutur dia.
Jika proyek kasip dalam jangka waktu yang tidak ditentukan, risikonya adalah kesulitan dalam mencapai target net zero Indonesia pada tahun 2060.
Baca juga: Jejak Karbon: Pengertian, Penghitungan, dan Cara Menguranginya
Sementara itu, Larastiti menilai secara keseluruhan jika mempertimbangkan emisi karbon transportasi nasional, untuk jalur yang ada saat ini yaitu Jakarta-Bandung, dampak penggunaan Whoosh belum seberapa.
"Tren penurunan emisi angkutan umum perlu dilihat dalam jangka waktu yang lebih panjang. Apakah tren penggunaan Whoosh bisa bertahan lama atau sesaat, seperti pada momen liburan atau mudik. Untuk ini, kita butuh waktu," kata dia.
Menurutnya, selain berfokus pada Whoosh, yang utama adalah masyarakat bisa menikmati berbagai opsi transportasi umum ke berbagai daerah lainnya. Sehingga, berdampak semakin luas terhadap lingkungan.
"Yang penting adalah pemerintah memberikan opsi perjalanan angkutan umum yang reliabel bagi warga, sehingga warga bersedia berpindah naik angkutan umum, yang dampaknya dalam jangka panjang adalah pengurangan emisi karbon angkutan umum secara signifikan," pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya