Kemudian, kata dia, dengan menggunakan LNG dalam tahapan saat ini, juga eksploitasinya terjadi karena mulai ada ladang baru yang akan dibuka.
“Kemudian, bahan bakar minyak juga masih dominan. Dan yang terbaru juga menjadi kekecawaan kita, ketika dokumen taksonomi berkelanjutan Indonesia memasukan juga nuklir, dalam satu indikator energi baru terbarukan,” terang dia.
Selanjutnya, kata Haris, jika dilihat sebenarnya Indonesia punya kemampuan untuk membangun potensi EBT dari tenaga surya, itu saja mampu melebihi dari apa yang direncanakan pemerintah di 2024.
Misalnya terdapat 3.000 GW yang bisa diproduksi dari tenaga surya seperti hydro, bio energi, panas bumi, hingga laut. Namun, dalam kurun waktu 7 tahun terakhir, kata dia, yang tertinggi tetap batu bara.
Mitos selanjutnya, kata dia, berkaitan dengan transisi energi ini ramah lingkungan.
“Jadi klaim terhadap transisi energi ramah lingkungan ini juga mesti dibuktikan dengan sesuatu yang benar-benar tidak punya dampak lingkungan atau prosesnya di hulu itu proses yang benar-benar tidak mengabaikan lingkungan,” kata dia.
Ia menjelaskan, dari laporan suatu penelitian yang dipublikasi pada 2022, Indonesia menjadi negara dengan sumbangan deofrestasi paling besar yaitu 58,2 persen deforestasi dari aspek pertambangan.
“Ini membuktikan bahwa dari proses hulu aktivitas pertambangan ini sudah melakukan aktivitas pengrusakan, konversi kawasan hutan, wilayah masyarakat adat,” kata dia.
Baca juga: Indonesia-Jepang Jalin Kerja Sama 24 Proyek Transisi Energi
Contohnya, pertambangan nikel di Sulawesi Tengah dan Maluku, banyak masyarakat adat melakukan perlawanan terhadap aktivitas tambang di sana.
Lebih lanjut, dengan aktivitas high risk atau tinggi resiko, para pekerja di Morowali, Sulawesi Tengah, hanya memiliki satu rumah sakit. Jaraknya ke Kota Palu dengan fasilitas rumah sakit yang lebih baik pun berjarak 600 km, sehingga sulit diselamatkan jika terjadi kecelakaan kerja.
Transisi energi, kata Haris, mitosnya akan bermuara terhadap kesejahteran rakyat.
Jika dilihat dari ketinggian, ia menyebut secara spasial memang wilayah-wilayah dengan kandungan nikel yang dicari investor paling besar pasti terlihat di Sulawesi dan Maluku.
“Jadi eksploitasi dan investasi paling banyak, saat ini terkonsentrasi di dua pulau ini, Sulawesi dan Maluku,” kata dia.
Secara data, ia menjelaskan, jika dilihat keduanya menjadi penyumbang peningkatan ekonomi paling besar, mengalahkan pertumbuhan rata-rata ekonomi nasional.
Jika rata-rata provinsi hanya 5 persen, kedua provinsi tersebut bisa menyumbang angka di atas 16 persen. Namun, jika dilihat lebih dalam lagi, keduanya juga masuk 10 besar dengan tingkat provinsi termiskin.
“Sulteng di atas 10 persen, Maluku Utara di atas 8 persen tingkat kemiskinannya, banyak di pedesaan. Ini membuktikan tidak ada konektivitas langsung adanya investasi langsung antara produksi nikel terhadap rakyat-rakyat di kampung,” pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya