Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

5 Mitos Transisi Energi di Indonesia, Banyak Janji yang Tak Ditepati

Kompas.com - 09/01/2024, 20:02 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Dalam persoalan transisi energi atau peralihan dari pemakaian energi fosil ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan, ada sejumlah mitos.

Hal ini disampaikan oleh Kepala Departemen Kampanye dan Pendidikan Publik Tuk Indonesia, Abdul Haris.

“Kenapa disebut mitos terhadap transisi energi di Indonesia? Karena sampai saat ini belom ada yang bisa kita lihat terhadap keberadaan dari apa itu transisi energi di Indonesia,” ujarnya dalam diskusi "Menakar Masa Depan Transisi Energi yang Berkeadilan di Kawasan Industri Berbasis Nikel" di Jakarta, Selasa (9/1/2024).

Artinya, menurut Abdul, ternyata banyak janji Pemerintah yang tidak ditepati atau tidak terjadi.

Baca juga: Di Sela COP28, Indonesia dan ADB Sepakati Pensiun Dini PLTU

Berikut beberapa mitos yang muncul dalam transisi energi di Indonesia.

1. PLTU dihentikan

Pertama, kata dia, transisi energi akan mengalihkan, pemerintah akan menghentikan pengoperasian PLTU lalu menggantinya dengan energi baru terbarukan (EBT).

“Saya buktikan bagaimana dalam 10 tahun terakhir izin PLTU justru bertambah, bukan berhenti,” kata dia.

Terdapat dua temuan yang ia sampaikan. Pertama, ada publikasi dari Yayasan Cerah yang menyebutkan bahwa dalam 10 tahun terakhir (2013-2023), terjadi peningkatan 1,4 GW menjadi 10,8 GW energi yang diproduksi dari PLTU batu bara.

Baca juga: Apa Saja yang Dikatakan Capres-Cawapres soal Perubahan Iklim dan Transisi Energi?

“Ini memungkinkan terjadi peningkatan justru dalam penggunaan energi baru bara di Indonesia, dalam 10 tahun terakhir. Jadi bertentangan dengan fakta bahwa kita berupaya untuk mengurangi energi yang bersumber dari energi fosil seperti batu bara,” tutur dia.

Kedua, dari target pemerintah dalam lima tahun yang direncanakan akan dibangun infrastuktur pembangkit tenaga listrik, dengan target 27,28 GW. Sumbernya, 67 persen dari pembangkit fosil sedangkan EBT hanya bersumber 33 persen.

2. Eksploitasi atas nama transisi

Yang kedua, kata Haris, transisi adalah jalan panjang terhadap eksploitasi sumber daya alam.

“Jadi atas nama transisi, energi nikel, batu bara, timah, dan lain-lain itu kemudian bisa dieksploitasi karena kita menuju satu tahapan yang akhirnya disebut dengan transisi, atau energi dengan rendah karbon,” ujarnya.

Menurutnya, dalam praktek pertambangan, transisi energi tidak berkontribusi terhadap penurunan perizinan, artinya, izin-izin eksploitasi sumber daya alam masih tetap tinggi.

3. Energi baru terbarukan

Haris mempertanyakan, apa yang disebut dengan energi baru terbarukan? Energi terbarukan seperti apa yang akan diutamakan?

“Faktanya yang banyak didorong oleh pemerintah dalam konteks pembangunan energi di Indonesia justru ya batu bara, dengan merubah aja bentuknya,” kata dia.

Baca juga: Kesiapan Transisi Energi Indonesia Jalan di Tempat

Kemudian, kata dia, dengan menggunakan LNG dalam tahapan saat ini, juga eksploitasinya terjadi karena mulai ada ladang baru yang akan dibuka.

“Kemudian, bahan bakar minyak juga masih dominan. Dan yang terbaru juga menjadi kekecawaan kita, ketika dokumen taksonomi berkelanjutan Indonesia memasukan juga nuklir, dalam satu indikator energi baru terbarukan,” terang dia.

Selanjutnya, kata Haris, jika dilihat sebenarnya Indonesia punya kemampuan untuk membangun potensi EBT dari tenaga surya, itu saja mampu melebihi dari apa yang direncanakan pemerintah di 2024.

Misalnya terdapat 3.000 GW yang bisa diproduksi dari tenaga surya seperti hydro, bio energi, panas bumi, hingga laut. Namun, dalam kurun waktu 7 tahun terakhir, kata dia, yang tertinggi tetap batu bara.

4. Aspek ramah lingkungan

Mitos selanjutnya, kata dia, berkaitan dengan transisi energi ini ramah lingkungan.

“Jadi klaim terhadap transisi energi ramah lingkungan ini juga mesti dibuktikan dengan sesuatu yang benar-benar tidak punya dampak lingkungan atau prosesnya di hulu itu proses yang benar-benar tidak mengabaikan lingkungan,” kata dia.

Ia menjelaskan, dari laporan suatu penelitian yang dipublikasi pada 2022, Indonesia menjadi negara dengan sumbangan deofrestasi paling besar yaitu 58,2 persen deforestasi dari aspek pertambangan.

“Ini membuktikan bahwa dari proses hulu aktivitas pertambangan ini sudah melakukan aktivitas pengrusakan, konversi kawasan hutan, wilayah masyarakat adat,” kata dia.

Baca juga: Indonesia-Jepang Jalin Kerja Sama 24 Proyek Transisi Energi

Contohnya, pertambangan nikel di Sulawesi Tengah dan Maluku, banyak masyarakat adat melakukan perlawanan terhadap aktivitas tambang di sana.

Lebih lanjut, dengan aktivitas high risk atau tinggi resiko, para pekerja di Morowali, Sulawesi Tengah, hanya memiliki satu rumah sakit. Jaraknya ke Kota Palu dengan fasilitas rumah sakit yang lebih baik pun berjarak 600 km, sehingga sulit diselamatkan jika terjadi kecelakaan kerja.

5. Kesejahteraan rakyat

Transisi energi, kata Haris, mitosnya akan bermuara terhadap kesejahteran rakyat.

Jika dilihat dari ketinggian, ia menyebut secara spasial memang wilayah-wilayah dengan kandungan nikel yang dicari investor paling besar pasti terlihat di Sulawesi dan Maluku.

“Jadi eksploitasi dan investasi paling banyak, saat ini terkonsentrasi di dua pulau ini, Sulawesi dan Maluku,” kata dia.

Secara data, ia menjelaskan, jika dilihat keduanya menjadi penyumbang peningkatan ekonomi paling besar, mengalahkan pertumbuhan rata-rata ekonomi nasional.

Jika rata-rata provinsi hanya 5 persen, kedua provinsi tersebut bisa menyumbang angka di atas 16 persen. Namun, jika dilihat lebih dalam lagi, keduanya juga masuk 10 besar dengan tingkat provinsi termiskin.

“Sulteng di atas 10 persen, Maluku Utara di atas 8 persen tingkat kemiskinannya, banyak di pedesaan. Ini membuktikan tidak ada konektivitas langsung adanya investasi langsung antara produksi nikel terhadap rakyat-rakyat di kampung,” pungkasnya.

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com