KOMPAS.com - Subsidi bahan bakar fosil di kawasan Asia Tenggara ternyata jauh lebih tinggi daripada investasi energi terbarukan.
Hal tersebut mengemuka dalam laporan terbaru dari perusahaan konsultan Bain & Company berkolaborasi dengan GenZero, Standard Chartered Bank, dan Temasek.
Bahan bakar fosil yang mendapat subsidi antara lain batu bara, minyak bumi, dan gas.
Baca juga: Perkembangan Energi Terbarukan Global: Besar, tapi Belum Sesuai Target
Pada 2022, total uang yang digelontorkan untuk menyubsidi bahan bakar fosil dari 10 negara Asia Tenggara mencapai 117 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.900 triliun.
Jumlah dana yang dibakar untuk menyubsidi bahan bakar fosil di Asia Tenggara pada 2022 naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan 2021 sebesar 48 miliar dollar AS (Rp 779 triliun).
Di sisi lain, total investasi energi terbarukan di Asia Tenggara pada 2022 hanya mencapai 26 miliar dollar AS atau sekitar Rp 422 triliun.
Ini artinya, uang yang digelontorkan untuk menyubsidi bahan bakar fosil lima kali lebih besar daripada investasi energi terbarukan di Asia Tenggara.
Baca juga: Investasi ke Energi Terbarukan Dapat Lipatgandakan Pertumbuhan Ekonomi
Realisasi investasi energi terbarukan pada 2022 di Asia Tenggara juga menurun dibandingkan tahun 2021 yang mencapai 30 miliar dollar AS (Rp 487 triliun).
Dengan temuan tersebut, studi dari Bain & Company itu menyimpulkan bahwa Asia Tenggara masih terus memberikan insentif terhadap bahan bakar fosil.
Besarnya subidi terhadap energi fosil tersebut menghambat pengembangan energi terbarukan karena persaingan harganya menjadi tidak kompetitif.
Subsidi bahan bakar fosil yang terus berlanjut dapat menyebabkan harga yang tidak menjadi semestinya sehingga menghambat daya saing energi terbarukan.
Baca juga: Pengembangan Energi Terbarukan Global Masih Timpang, Belum Selaras dengan Target 2030
Bain & Company mencontohkan, di Indonesia, subsidi bahan bakar fosil berupa penerapan patokan harga batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Dengan adanya patokan harga tersebut, biaya listrik dari PLTU batu bara menjadi tetap rendah bagi konsumen.
Bain & Company pun merekomendasikan agar kawasan Asia Tenggara memprioritaskan dan memfokuskan insentif hijau untuk merangsang energi terbarukan, bukan terus menyubsidi bahan bakar fosil.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mengkatalisasi infrastruktur jaringan listrik agar secara bertahap mendukung transisi energi dari subsidi bahan bakar fosil.
Baca juga: Wilayah di Papua Ini Bakal Andalkan 100 Persen Energi Terbarukan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya